#20 Raeni

16K 688 22
                                    

Raeni POV

Aku tidak menyangka akan sesakit ini. Aku sudah menyiapkan mental untuk situasi ini, tapi kenapa persiapan itu tidak berguna sekarang. Apa sekarang ? Kenapa harus ada air mata... aku sudah berulang kali berkata ikhlas, ikhlas, dan ikhlas, tapi kenapa sekarang aku menangis... ya Allah aku sungguh sudah mengikhlaskannya, tapi jika air mata ini bertanda aku belum ikhlas, maka hamba memohon berikan kekuatan dan ketabahan untuk hamba mengikhlaskan semua ini.

Setelah selesai cuci piring serta membersihkan meja makan, aku bersiap untuk ke kamar. Tapi sebelum itu aku harus menghentikan air yang mengalir di mataku. Aku berusaha untuk tenang dan berhenti menangis. Aku membasuh wajahku untuk menghilangkan bekas air mataku. Aku harus terlihat baik-baik saja.

Ku langkahkan kaki menuju kamar. Saat sampai, ku buka pintu kamar dan terlihat kak Alvian yang belum tidur. Dia bersandar di sandaran ranjang.

"Loh, kak Alvian kok belum tidur ?" tanyaku setenang mungkin agar menutupi kesedihanku.

"Belum ingin," ucap kak Alvian.

Ku langkahkan kaki menuju ranjang.

"Kakak sebaiknya cepat tidur." Aku menaiki ranjang dan memposisikan diri untuk bersiap tidur.

"Kakak sebaiknya tidur, besok  kan harus kerja," ucapku lagi.

Aku langsung membaringkan diri dan seperti biasanya tidur memunggunginya. Ku pejamkan mata berusaha untuk tidur.

"Raeni, maafkan aku," ucap kak Alvian tiba-tiba.

"Maaf untuk ?" Ku buka kembali mataku.

Oh tidak, jangan meminta maaf kak. Jangan membuatku meneteskan air mata.

"Maaf karena aku menjadi brengsek seperti ini."

Aku terkejut mendengar ucapan kak Alvian. Aku langsung mendudukkan diri dan menatapnya.

"Kakak apa-apaan sih, bilangin diri sendiri brengsek," ucapku sedikit kesal, tidak suka dengan kata-kata kak Alvian.

Perlahan ku genggam tangan kak Alvian.

"Kak dengarkan Raeni! kakak tidak brengsek. Jika kakak mencintai kak Nasta, sudah semestinya kakak menikahinya." Ku lihat kak Alvian balik menatapku.

"Kak, bukankah sebelum kita menikah kakak sudah mengatakan akan menikah lagi dan Raeni sudah menyetujuinya. Jadi, kenapa kakak mengatakan hal itu. Sungguh kak, Raeni sejak dulu sudah ikhlas dan sekarang pun Raeni baik-baik saja." Aku tersenyum menatap kak Alvian. Walaupun kata-kataku itu tidak seratus persen benar, tapi aku tidak boleh memperlihatkan kesedihanku padanya.

Aku tak tahu apakah yang aku tangkap sekarang ini benar atau tidak, tapi tatapan mata kak Alvian seakan mengatakan penyesalan yang sangat mendelam.

Jika benar kak Alvian sangat menyesal, aku pasti sangat bersyukur. Penyesalan itu membuktikan kak Alvian memikirkan perasaanku dan mungkin telah ada rasa sayang untukku. Tapi, aku tak mau jika kak Alvian terlihat sedih dan banyak pikiran.

"Maaf...." Kata itu kembali ku dengar.

"Astaga kak, kakak tahu kan orang yang minta maaf itu berarti merasa bersalah karena telah melakuka kesalahan. Emang kakak melakukan kesalahan apa hah ? Tak ada yang perlu dimaafkan kak," ucapku menatapnya serius.

Kak Alvian tertunduk. Tidak pernah ku lihat kak Alvian seperti ini.

"Kak tatap Raeni!" Ku pegang dagu kak Alvian dan mengarahkan agar menatapku.

Entah apa yang merasuki diriku sampai seberani itu.

"Jika kakak benar-benar merasa bersalah... mmm... bagaimana kalau kakak ngajak Raeni jalan-jalan ?" dengan maksud untuk bercanda, ku naik turunkan alisku.

Aku ingin menceriakan suasana dan agar kak Alvian tidak terlihat murung.

Ku lihat kening kak Alvian berkerut.

"Astaga kak, kakak tahu nggak sih Raeni itu bosan banget. Rumah-kampus, rumah-kampus. Raeni nggak pernah keluar jalan-jalan...," ucapku asal. Otakku seakan langsung memproses dan menyusun kata untuk mengalihkan pembicaraan kami.

"Raeni pernah cari-cari di google tempat-tempat terbaik di Bandung dan ada satu tempat yang ingin Raeni datangi. Bagaimana kalau kita kesitu nanti ?" lanjutku.

"Raeni... kamu kena...." ku potong ucapan kak Alvian.

"Kakak tahu nggak, teman kampus Raeni pernah ngajakin kesitu, tapi Raeni nolak. Raeni maunya ke tempat indah itu bersama kakak, suami Raeni," ucapku tanpa malu. Kutuklah pikiran dan mulutku ini yang seenaknya.

"Kita disana bisa foto-foto dan makan-makan sampai puas. Aku pengen ngerasain semua makanan khas Bandung dan katanya disana lengkap. Kita pergi ya kak ?"

Ku lihat kak Alvian terlihat bingung. Aku pun juga bingung dengan kata-kata ku sendiri.

Aku pura-pura menguap tak ingin melanjutkan perbincangan malam ini.

"Wah rasanya Raeni udah ngantuk sekali. Sebaiknya kita tidur saja. Raeni tidur duluan, kalau kakak masih nggak bisa tidur ya sudah, tapi sebaiknya sih kakak tidur agar besok ke kantornya segar."

Aku kembali membaringkan diri dan memunggunginya.

Setelah beberapa menit, kurasakan ada pergerakan di sampingku dan sepertinya kak Alvian pun sudah tidur.

Apapun yang terjadi kedepannya biarlah terjadi. Aku sudah mengatakan untuk ikhlas, sudah semestinya aku ikhlas. Aku tidak ingin melihat mu sedih dan merasa bersalah. Walaupun terasa sakit, aku tidak ingin telihat sedih dihadapan mu. Terima kasih telah memikirkan perasaanku.

Ku pejamkan mata dan perlahan tertidur.










tbc

Hmmmm maafkan jika ada typo...

Nggak sepanjang part lainnya. Tapi, diriku berharap perasaan Raeni sampai pada kalian 😉

O ya, buat yang udah membantu memberi masukan, makasih banget... tiga part ini, aku usahain penulisannya rapih n bener... tapi... pasti masih ada yg salah n kelewat, mohon dimaklumin, bukannya ngeyel dah diberi masukan tapi masih ada aje yang salah heheheh tak ada yang sempurna, kesempurnaan hanya milik-Nya, jadi beri masukan terus ya, jangan kapok 😆

Thankyu 😘

Cinta Untuk Suamiku (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang