Dunia itu terlalu baik ngebiarin seseorang yang namanya Choi Hyunsuk hidup dan menghirup udara dunia yang sama denganku.
note:
- baku 90%
- harsh words
- silverboys in the house!
310119 - 1st #silverboys
- 8th #hyunsuk
210219 - 1st #m...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sudah kuduga kalau Suah dan Raesung merasa curiga atas apa yang tadi terjadi di antara aku dan Jihoon tadi saat kami berada di kantin. Tapi aku dan Jihoon sama-sama memilih untuk tutup mulut soal itu. Bukannya aku atau Jihoon tidak percaya dengan mereka, tapi untuk saat ini memang lebih baik jika hanya sedikit orang yang tahu soal keberadaan Hyunsuk.
Entah kenapa aku sungguhan takut sesuatu terjadi padanya.
"Eh, Jian, kau tau gak soal..."
Aku yang tengah membereskan buku-buku pelajaran untuk bersiap pulang menoleh ke arah Raesung. "Soal apa?"
"Hyunsuk kabur dari rumah." ia berbisik. Saat aku melihat ke arah Suah, gadis itu menganggukkan kepalanya, seakan sudah menunggu Raesung untuk memberitahukan hal ini padaku.
"Ah---benarkah?" aku berpura-pura terkejut.
"Junkyu, Noa, Jihoon, sama Gon juga gatau dia ada di mana." sambung Raesung.
Aku mengendikkan bahu, "Begitu pun aku."
"Kenapa aku punya firasat Hyunsuk pergi ke rumahmu, ya?" Suah dan instingnya itu. Aku mendadak merinding membayangkan apa reaksi mereka kalau tahu Hyunsuk memang pergi ke rumahku.
"Mana mungkin." aku langsung menepis perkataan Suah. "Kalau iya udah kuusir dia. Kau tau sendiri Ibuku kayak gimana soal laki-laki."
Suah mengangguk setuju, "Ahh, benar. Jian pasti akan dicincang Ibunya kalo sampe itu kejadian. Kau mau langsung pulang?"
Tentu saja aku harus langsung pulang. "Iya, aku duluan. Dadahh!"
Mulai dari sini, kesabaranku harus kembali diuji karena ya, aku akan berboncengan lagi dengan Jihoon. Aku harus benar-benar memperingatinya kalau sampai kejadian seperti kemarin terjadi lagi.
Aku berjalan keluar dari gerbang sekolah dan kini berada cukup jauh dari area sekolah. Jihoon dengan helmnya sudah menungguku di atas motor. Tiba-tiba saja jantungku berdegup tak karuan. Takut membayangkan bagaimana caranya membawa sepeda motor seperti kemarin.
Ketika aku sudah berhadapan dengan pemuda itu, dia menyerahkan sebuah helm padaku---yang entah milik siapa.
Aku enggan betul menerima helm itu. Dan Jihoon menyadarinya.
Aku menghela nafas berat lalu menerima helmnya. Sembari memasangkan helmnya ke kepalaku, aku berkata pada Jihoon, "Aku bakalan geplak kepalamu tiap kali kau hampir bikin aku celaka, ya?"
"Iyaaaa, Nyonya. Geplak aja sampe copot nih kepala."
Aku mendecih. Kemudian naik ke atas sepeda motor Jihoon sambil merapal-rapal doa.