- 1 -

733 83 18
                                    

Malam belum pernah sehening ini di Hendersonville Street. Sebuah sedan hitam serta mobil polisi yang sirinenya dimatikan tampak terparkir di depan salah satu rumah di kawasan itu. Pintu rumah itu dijaga dua pria berseragam polisi lengkap. Dan di dalam ruang tamunya duduk lima orang. Seorang di antaranya adalah pria paruh baya berperawakan tegas, dengan mantel cokelat dan setelan resmi. Di hadapan pria itu terhampar surat-surat penting yang dikeluarkan dari sebuah map. Sementara dua orang yang duduk di sofa sebelahnya merupakan pasangan Frauss.

Tim Frauss berperawakan rapi dan tegap, dengan rambut hitam yang mencuat di bagian puncaknya. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak biru muda yang dimasukkan rapi ke celana, tipikal pekerja kantoran. Mata cokelatnya yang teduh tetap tenang, meskipun istrinya, Sarah Frauss, tak kuasa menahan emosi. Wajahnya kuyu karena menangis. Ekspresinya tegang.

Di hadapan mereka duduk Diana Malcolm, ekpresi riang yang biasa menghiasi wajahnya kini lenyap digantikan raut sedih. Rambut putihnya yang pendek bergelombang terlihat berantakan. Diana menatap seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang duduk di sebelahnya dengan pandangan nanar. Sementara pandangan si gadis itu sendiri terpaku pada sebuah kartu identitas berwarna biru muda-putih yang tergeletak di meja tamu di depannya, kartu itu dilengkapi sebuah foto berukuran kecil seorang anak perempuan berambut hitam.

Trista Frauss

9103

Vanhale Street 166

Sekolah Dasar Redville

Redville City

Si gadis berambut hitam pekat, Daniela Malcolm, membaca huruf-huruf rapi yang tercetak di situ. Mata hijaunya menyipit bingung.

"Itu kartu pelajarmu dulu." Detektif Hale, si pria berjaket hitam, berbicara pada Daniela. Dia kemudian mendorong selembar kertas ke hadapan Daniela agar gadis itu bisa melihatnya lebih jelas, "Dan ini surat kelahiranmu. Itu semua bukti bahwa Mr. dan Mrs. Frauss betul-betul—"

Isakan sengau Sarah dari balik tisunya yang sudah basah total meredam kata-kata Detektif Hale berikutnya. Sarah tak sanggup menghadapinya. Tangisnya kembali pecah. Daniela tak dapat berkata-kata. Keningnya berkerut bingung. Dia hanya mampu memandangi kartu itu dengan sorot tak percaya. Pasangan Frauss duduk di sofa di hadapannya, kedua cangkir teh yang disuguhkan pada mereka masih terisi penuh tanpa pernah disentuh.

"Seperti yang sudah kami berusaha jelaskan padamu, kami orangtua kandungmu, Nak." kali ini Tim yang berbicara. Berbeda dengan Sarah yang emosinya tak terkendali, pria itu terlihat lebih kalem dan tenang. "Wajar saja kau sama sekali tidak ingat kami, karena..."

"Kalian? Orangtua kandungku? Dan maksud kalian gadis kecil di foto itu adalah aku?" Daniela memotong.

"Ya. Aku tahu kunjungan kami yang tiba-tiba pasti sangat mengagetkan bagimu." Sarah akhirnya membuka suara, dia berusaha tersenyum, "Kami kesulitan mencarimu."

Diana menunduk gelisah.

"Aku nggak paham." gumam Daniela menggeleng-geleng, dia melirik foto di kartu pelajar itu. Gadis kecil itu memang mirip sekali dirinya. Tapi tetap saja. "Namaku Daniela. Dan wanita ini..." dia menunjuk wanita gemuk paruh baya yang duduk di sebelahnya, "...adalah ibuku. Diana Malcolm."

Diana terus menunduk sambil memainkan kuku jarinya. Wajahnya tampak pucat. Ekspresi Tim kaku ketika dia memandang Diana.

"Dia bukan—" dia berbisik pahit. Sarah menggeleng-geleng dari balik tisunya, lalu memotong perkataan Tim.

"Diana," dia memandang wanita itu dengan ekspresi sakit hati yang tak mampu disembunyikannya, "Bagaimana bisa kau melakukan ini?"

Diana tidak berani balas menatap siapapun saat ini. Dia menunduk menatap ujung-ujung jemarinya. Bibirnya memutih.

"Miss Frauss." Detektif Hale mencoba menengahi keadaan yang mulai memanas, "Kedua orangtua kandungmu telah mencarimu selama beberapa lama. Kami kesulitan mencari alamat Diana dan sepertinya kau tidak tahu-menahu tentang identitasmu."

"Hentikan omong kosong ini." potong Daniela kehilangan kesabaran, "Kalian salah orang. Nggak ada yang bernama Trista Frauss di sini, oke?"

Diana memandang Daniela sedih. Bibirnya bergetar.

"Mom, bilang pada mereka kalau mereka salah orang. Bilang pada mereka bahwa mereka salah alamat." kata Daniela mendesak.

Tangis Diana akhirnya pecah. Dia menatap Daniela tersiksa dengan mata berkaca-kaca.

"Maafkan aku sweetheart, tapi mereka benar! Waktu itu mereka benar-benar sedang kesulitan dan aku menawarkan diri untuk merawatmu s-sementara..."

Diana mengulurkan tangan hendak mengelus pipi Daniela, namun gadis itu bangkit dan melangkah mundur.

"Nggak ada orangtua yang menitipkan anaknya pada orang lain begitu saja." suaranya bergetar ketika berbicara, "Aku sudah ada di sini sejak kecil. Bahkan aku tak mengingat pernah mengenal keluarga Frauss, dan namaku Daniela, demi Tuhan! Kau bohong. Kalian semua bohong."

Diana menggeleng putus asa sementara Sarah makin terisak.

"Kau menunjukkan foto-fotoku sewaktu kecil. Ulang tahunku yang pertama, pementasan Snow White waktu aku berperan sebagai kurcaci kuning, foto sewaktu aku, kau, dan Dad pergi ke taman hiburan..."

"Kau pernah bilang padaku bahwa kau tidak ingat semua itu." Diana menyela dengan lembut, suaranya bergetar. "Walaupun kau menerima saja semua ceritaku tentang masa kecilmu, kau tetap tak ingat apa-apa bukan? Itu karena aku berbohong."

Daniela terdiam. Dia sadar bahwa dia memang tidak ingat masa kecilnya. Dia hanya ingat Diana membangunkannya dari tidur yang terasa amat panjang, menjelaskan bahwa dia mengalami gangguan kecil pada memori di otaknya akibat kecelakaan, dan akhirnya dia menerima jati dirinya sebagai Daniela Malcolm. Tapi bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Diana Malcolm, ibunya, berbohong tentang semua itu? Bagaimana mungkin kenangan masa kecilnya hanyalah sebuah karangan?

"Sweetheart," Diana bangkit dari sofanya dan meringsut mendekat, merangkul pundak Daniela yang gemetar. "Kau hilang ingatan."

"Kau memang bilang padaku bahwa aku mengalami sedikit gangguan di otakku akibat kecelakaan ketika aku berumur delapan ta-"

"Itu benar!" Sarah kehilangan kesabaran dan mendadak bangkit dari sofa, "Tapi dulu, sebelum kau hilang ingatan kau adalah Trista Frauss kecil kami...!"

Suasana ruang tamu benar-benar sunyi. Keempat orang di ruangan itu menatap Daniela, menunggu reaksinya. Hingga akhirnya Daniela memecah keheningan.

"Aku nggak peduli dengan semua omong kosong kalian." dia berkata datar. Kemudian Daniela beranjak dari ruang tamu dan menaiki tangga menuju kamarnya. Sarah dan Diana mencoba menyusul.

"TINGGALKAN AKU SENDIRI!" Daniela berteriak pada mereka dan membanting pintu kamarnya. Jika tenaganya sebesar amarahnya, Daniela yakin pintu itu sudah hancur menjadi serpihan kayu.

Daniela menjatuhkan diri ke tempat tidur dan tangisnya pecah. Dia menekapkan bantal pada mulutnya, berusaha meredam suara isaknya. Dia merasa ada belati yang tertancap tepat di jantungnya, dan pengakuan Diana hanya membuat belatinya tertusuk makin dalam dan lukanya makin parah. Dia tak percaya semua ini. Pasti ini hanya mimpi. Ketika terbangun, dia akan menemukan segalanya normal dan baik-baik saja. Ibunya, yang tentu saja adalah Diana, akan membangunkannya pukul setengah tujuh pagi dan menyuruhnya segera turun untuk sarapan. Ibunya akan membuatkannya panekuk isi selai dan susu cokelat hangat, seperti biasa. Kemudian mereka akan menggosipkan pekerjaan Diana di perusahaan asuransi dan cowok yang Daniela taksir di sekolah. Seperti biasa.

Daniela mengangkat wajahnya dari bantal, memandang ke arah kotak kaca yang terletak di atas meja belajarnya. Di dalam kotak itu terdapat seekor kura-kura kecil yang balas menatap dengan mata manik-maniknya yang hitam dan berkilau.

"Ini hanya mimpi aneh." dia berbicara pada kura-kura hijau kebiruan itu, "Besok aku bakal terbangun dan mengetahui bahwa ini nggak nyata."



0


ZERO akan update tiap Minggu.
Mudah-mudahan ada pembaca yang stick to the end.

How's the first chapter?
Tinggalkan jejak dengan vote/comment ya :)

ZeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang