- 41 -

102 28 1
                                    

Bisa dibilang topan badai menerjang rumah keluarga Frauss beberapa hari berikutnya. Paling tidak begitulah yang sepertinya tampak bagi Tim dan Sarah. Mereka kelihatan seperti sedang menatap langsung topan badai di hadapan mereka, berdiri dalam wujud manusia. Yang satu perempuan, yang satu laki-laki. Dan mereka adalah Trista dan Cliff.

Butuh waktu selama beberapa saat untuk membiarkan Tim dan Sarah menyerap informasi yang baru saja disampaikan Cliff dengan mantap dari tempatnya berdiri saat ini, sambil menggenggam tangan kiri Trista erat.

Sarah masih tampak terguncang. Dia bangkit dari sofanya, bolak-balik beberapa kali sambil menekap mulutnya dengan kedua tangannya, kemudian mengakhirinya dengan bersandar di tembok, menyisiri rambutnya dengan jemari, dan menatap Trista dan Cliff. Sementara Tim menghadapinya dengan sedikit lebih tenang. Trista bahkan kagum ayahnya masih dapat berbicara dengan suara yang nyaris tanpa emosi, terdengar sama normalnya seperti ketika dia mengomentari berita koran pagi yang membosankan.

"Kau bilang kau menyukai anakku." Tim mengulang pelan.

"Ya, Sir." Cliff menjawab tegas. Trista balas meremas tangan Cliff, "Kami saling menyukai."

Cliff tidak lagi memanggil Tim dengan sebutan 'Dad' atau Sarah dengan 'Mom' sejak mereka pulang dari rumah sakit. Awalnya Trista berpikir itu dilakukan Cliff karena cowok itu merasa bahwa dia tidak perlu lagi menyembunyikan apapun seiring kembalinya ingatan Trista, namun ternyata ini tujuan utamanya. Situasi seperti saat ini bakal jadi luar biasa canggung jika Cliff masih memanggil Tim dengan sebutan 'Dad', bukan?

"Tris... sejak kapan?" Sarah akhirnya membuka suara.

"Sejak dulu, Mom." jawab Trista yakin, "Selama ini aku selalu kebingungan dengan perasaanku karena aku nggak ingat. Tapi sekarang, setelah semuanya jelas, aku ingat bahwa aku sudah menyukainya sejak dulu."

Trista dapat menangkap dari ekor matanya sudut bibir Cliff sedikit terangkat mendengar pengakuan itu.

Sarah menghembuskan napas berat dan memejamkan matanya.

"Selama ini?" gumam wanita itu tak percaya, "Mengapa aku bisa tidak menyadarinya?" kemudian tatapannya berubah horor, "Apa kalian—? Kau tahu..."

Keheningan yang canggung dan menyiksa menyusul kata-kata Sarah. Tim bersandar pada sofa dan memijit dahinya.

"Mom." Trista menatap ibunya lurus-lurus, merasa konyol sekaligus malu harus menjelaskan semua ini, "Tidak ada yang terjadi. Ini adalah satu-satunya langkah besar kami setelah selama ini. Percayalah, aku masih menganggap dia abangku sampai sebelum mobil Kierra menghadangku dua hari yang lalu."

Trista berusaha mengirimkan telepati lewat tatapan matanya pada Cliff agar cowok itu ikut mendukung dan membantu, tetapi dia bungkam total. Hanya saja, Trista berani bersumpah sekilas dia melihat ujung-ujung bibir Cliff kembali terangkat, diiringi kilatan jahil yang melintas selama sepersekian detik di matanya.

"Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?" tanya Tim pada Cliff.

Cliff terdiam sejenak.

"Pesan ayahku padamu. Aku nggak ingin mengecewakanmu, Tim. Kau nggak bisa... well, katakanlah membantu PR esai Sejarahku di suatu hari sekaligus menasehatiku kalau-kalau aku memulangkan Trista lewat dari jam malammu di hari lainnya."

Trista mendengus. Cliff, Tim, dan Sarah menoleh menatapnya. Dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ide itu terdengar gila sekaligus sangat lucu, tak peduli betapapun seriusnya situasi saat ini.

"Maaf." Trista berusaha keras untuk tidak tersenyum.

Tim bangkit dari sofanya dan maju beberapa langkah hingga dia berdiri persis di hadapan Cliff. Pria itu memandang Cliff dengan tatapan tajam. Trista cukup mengenal ayahnya. Tim jarang menatap tajam seseorang. Walaupun agak pendiam, Tim tipikal pria yang selalu terlihat santai menghadapi masalah. Karena itu hanya dengan melihatnya saat ini, setiap orang di ruangan itu tahu bahwa Tim sedang bersungguh-sungguh.

ZeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang