"Aku sudah dengar tentang kakakmu, walaupun pada awalnya aku sama sekali tak tahu bahwa kau punya kakak." kata Diana di telepon, Minggu pagi ketika Trista menghubunginya. Wanita itu benar-benar terkejut ketika Trista menelepon. Dan terdengar bahagia, "Orangtuamu pasti memiliki alasan-alasan mereka sendiri."
Trista tersenyum sambil menerawang, "Tapi kejadiannya nggak akan seseru ini jika Cliff dititipkan bersamaku, denganmu." katanya setengah bercanda, "Aku nggak akan bersikap canggung-canggungan dengan kakakku seperti sekarang."
"Apa dia tampan?" Diana menggoda.
"Well, aku benci mengakuinya, tetapi ya. Dia keren. Sayangnya juga nyebelin. Dan dia kelas dua belas. Hanya beda setahun denganku! Entah bagaimana nanti kami bersikap di sekolah..."
"Jangan khawatir." nada suara Diana berubah lembut, kebiasaannya setiap kali hendak menasihati Trista, "Bongkahan gunung es di Artik pun dapat meleleh sewaktu-waktu."
Trista terkekeh, "Itu sudah terjadi, Mom. Pemanasan global, ingat?"
Terjadi keheningan canggung yang menyusul kata-kata Trista.
Diana memutuskan menanggapinya dengan ringan, "Ingat, ibumu sekarang dan selamanya adalah Sarah. Aku hanya pemeriah suasana."
"Nggak lucu." Trista merespon dengan berpura-pura kedengaran kesal, "Kalau begitu kujadikan kau ibu tiriku."
Terdengar tawa geli dari seberang, "Kali ini kau yang tak lucu."
0
Senin kelabu. Mungkin hanya bagi Trista, namun cuaca di luar dengan awan abu-abu gelap yang menyelimuti Redville dan hujan yang turun rintik-rintik begitu mendukung suasana hatinya. Jalanan menjadi sangat licin, dengan keadaan normal di Redville yang memang selalu sejuk.
Trista turun ke dapur dengan terseok-seok dan mengantuk walaupun sudah berpakaian rapi. Dia tak bisa tidur cepat semalam akibat terlalu mengkhawatirkan kondisi kejiwaannya bila menghadapi kehidupan baru di sekolah barunya nanti. Sarah sibuk membalik telur di penggorengan dan menyiapkan piring-piring, sementara Tim tidak kelihatan.
Tak lama kemudian Cliff turun dan juga sudah berpakaian.
"Astaga, kalian kelihatan seperti anak kembar." komentar Sarah melihat pakaian juga ekspresi kedua anaknya.
Trista mengganti bajunya dengan baju yang paling tidak mencolok untuk hari pertamanya di sekolah baru; turtleneck bergaris abu-abu-hitam lengan panjang dan jins stretch hitam. Dia memilih memakai converse merah favoritnya. Sementara Cliff dengan mata setengah tertutup dan rambut acak-acakannya yang biasa mengenakan kemeja abu-abu yang lengannya digulung di luar kaus hitam bergaris, jins gelap, dan kets lusuh, membuatnya terlihat seperti vokalis band indie-rock yang baru pulang konser. Dia duduk dihadapan Trista, menggeser kursinya dengan lesu, kelihatan sekali masih mengantuk.
"Untung kets-ku biru tua." gumam Cliff.
"Mana Tim?" tanya Trista sambil duduk dan menggantungkan ranselnya di sandaran kursi.
Cliff menguap lebar, "Yang benar 'mana Dad'."
"Dia sudah berangkat duluan." jawab Sarah tanpa beralih dari wajannya, lalu meneruskan dengan nada ketus dan dingin, "Belakangan perusahaan lama Tim berusaha merekrutnya kembali, terlepas dari kenyataan mereka pernah memenjarakan ayahmu. Uang tutup mulut, kurasa."
Cliff melirik Trista dengan pandangan penuh arti, lalu mulai memotong-motong dadarnya.
"Oh ya," kata Sarah dengan nada lebih lembut sambil menuangkan dadar kedua ke piring Trista, "Dia menitipkan pesannya padaku. Dia bilang semoga sukses dengan sekolah baru kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zero
Teen FictionSaat berumur delapan tahun, Trista mengalami kecelakaan traumatis yang membuatnya kehilangan ingatan. Bertahun-tahun terpisah dengan kedua orangtuanya, kini mereka datang untuk membawa gadis itu pulang, ke rumah keluarga Frauss. Tetapi Trista bukan...