"Bagaimana menurutmu?" Tim tersenyum mengamati ekspresi Trista, "Kami berhasil membeli kembali rumah ini setelah mereka sempat menyitanya... kau tahu sendiri. Jadi... yah, inilah tempat tinggal kita dulu. Tentu saja tampilan luarnya sudah berbeda."
Trista mengikuti Tim keluar dari mobil dan memandangi rumah itu takjub. Dia tak sanggup berkedip.
Rumah ini begitu manis, dengan jendela-jendela putih dan didominasi warna-warna kayu natural yang memberi kesan hangat. Tidak besar tapi sangat sempurna. Gadis itu mengagumi garasi mobilnya yang ternyata beratapkan tanaman sulur, dengan hanya dibatasi pintu kayu setinggi pinggang demi alasan keamanan, tidak seperti kebanyakan garasi modern.
"Keinginan ibumu sih," Tim mengomentari, "Terkadang agak repot membersihkan atap mobil karena daun keringnya, makanya kulapisi lagi dengan fiberglass. Juga sedikit was-was dengan pencuri karena tak ada alarmnya, tapi tak ada yang mau mencuri di kota kecil seperti ini... ah."
Tim menepuk-nepuk badan SUV hitam yang terparkir persis di depan mobil Tim, "Transportasimu menuju sekolah nanti. Anggaplah ini sebagai akumulasi dari absensi kado ulang tahunmu selama ini."
"Whoa." Trista menganga. Trista berjalan menghampiri mobil itu dan mengelus kapnya. Tim mengamatinya, dan mendesah.
"Ya Tuhan." dia tersenyum sendu menatap Trista, "Aku sudah melewatkan sembilan ulang tahunmu begitu saja."
Trista sudah menduga bahwa Tim sengaja memberinya ini sebagai 'uang sogok' karena telah menelantarkan Trista tanpa jati diri selama sembilan tahun, kalau mau bersikap ironis. Namun Trista tidak sampai hati untuk mengutarakannya keras-keras saat ini.
Lalu Tim membimbingnya berjalan ke sudut dalam garasi dan menemukan pintu kecil yang terbuat dari kayu.
"Pintu apa ini?" tanya Trista.
"Coba buka saja."
Lapangan berumput menyambutnya. Halaman belakang rumah ini benar-benar luas dan tidak dibatasi oleh pagar, melainkan oleh deretan pohon yang berdiri berdekatan. Petak-petak bunga dan semak-semak hias tertata rapi sudut-sudut yang tepat, dengan warna-warna yang tepat. Tidak ada kata lain untuk menggambarkan itu semua. Cantik. Indah dan hangat.
"Dan ini tempat favoritku." Tim menggiring Trista naik ke teras belakang yang lebih luas dari teras depan. Lantainya tersusun dari panel-panel kayu berpelitur. Pintu kacanya tak terkunci. Lalu Tim berjalan menuju satu-satunya kursi goyang yang diletakkan di tengah teras dan duduk. Dia menghirup napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya.
"Senangnya kembali ke rumah ini. Dulu ini tempat favoritku untuk mencari udara segar sepulang kerja." katanya sambil tersenyum.
Trista mengernyit keheranan, "Kudengar kau bekerja di perusahaan milik orang Perancis?"
"Memang, tapi aku bukannya bekerja di Perancis. Kebanyakan aku bekerja di kantor cabangnya di sini. Aku tak mau jauh-jauh dari Redville. Tapi itu tentu sebelum seseorang memaksaku masuk bui."
Sorot mata Tim berubah menerawang lagi.
"Apakah kau meninggalkan rumah dengan pintu belakang terbuka seperti ini?" tanya Trista berusaha mengganti topik.
"Biasanya tidak. Tenang saja, Sarah ada di dalam. Dan akan lebih baik jika kita masuk lewat pintu depan. Karena dia pasti sedang menyiapkan 'kejutan spesial'nya di dapur. Dia takkan senang jika aku mengajakmu masuk lewat belakang."
Trista dan Tim kembali melewati garasi dan mengeluarkan koper-koper dari bagasi. Kotak kaca Zero terkepit aman di bawah lengan Trista, dan mereka dengan susah payah berhasil melewati teras dan pintu depan sambil mengangkat koper-koper.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zero
Teen FictionSaat berumur delapan tahun, Trista mengalami kecelakaan traumatis yang membuatnya kehilangan ingatan. Bertahun-tahun terpisah dengan kedua orangtuanya, kini mereka datang untuk membawa gadis itu pulang, ke rumah keluarga Frauss. Tetapi Trista bukan...