Trista berbaring di kamarnya, bermain-main lempar-tangkap yoyo tuanya dalam diam. Yang terdengar hanyalah suara detak jarum jam dan suara-suara berisik perutnya yang keroncongan.
Trista masih tak percaya semua ini benar-benar terjadi padanya. Dua puluh empat jam yang lalu dia masih mengira bahwa hanya orang lain, atau aktris-aktris di drama televisi, yang bisa mengalami kejadian seperti ini. Bahwa orangtuanya mengalami krisis ekonomi yang begitu parah, sehingga harus menitipkan kedua anaknya pada orang lain. Orang asing.
Trista tahu dia seharusnya tidak terkejut dengan semua itu karena bagaimanapun Diana sudah menceritakannya, walaupun amat sangat terlambat. Namun mendengarkan segalanya dari kedua orangtuanya sendiri terasa jauh lebih menyiksa, apalagi dalam versi yang lebih rinci.
Dan Tim menamparnya karena telah menyimpulkan kenyataan yang terjadi pada dirinya dan Cliff.
Ditambah informasi baru bahwa ibu kandungnya pernah nyaris bunuh diri karena merasa gagal sebagai orangtua.
Oh, dan juga fakta bahwa Trista tak ingat apapun tentang masa lalunya. Dia tak ingat telah dipisahkan dengan kakaknya yang selama ini belum pernah dia temui. Setidaknya, yang sejak umur delapan tahun belum pernah ditemuinya.
Trista membuka pelupuk matanya. Pelipisnya berkeringat. Dia baru ingat lagi soal Cliff. Bagaimana kira-kira reaksi Cliff? Sembilan tahun mereka tidak bertemu, bahkan Trista tak ingat hal sekecil apapun tentang kakaknya. Seperti apa wajah dan suaranya? Bagaimana jika Cliff menganggap Trista orang asing? Bagaimana jika mereka berdua tak akan bisa menjadi 'kakak-adik' yang sesungguhnya?
Trista memandangi hiasan dinding barunya, pemberian Lucy tadi sebelum berangkat, berupa pas foto dirinya dan Lucy di teras rumah sahabatnya itu musim panas lalu, dengan stiker-stiker huruf kecil-kecil yang disusun membentuk sebuah kalimat;
DANIELA a.k.a TRISTA WAS HERE.
DANIELA alias TRISTA PERNAH DI SINI.
Gadis itu tersenyum ironis menatap tulisan itu, sembari mempertimbangkan dengan serius untuk mulai mengemasi barang-barangnya dan minggat melalui jendela ketika pintu kamarnya diketuk.
"Boleh aku masuk?" suara Tim terdengar dari balik pintu. Trista buru-buru duduk.
"Tidak dikunci."
Wajah Tim muncul dari sela-sela pintu. Setelah memastikan bahwa Trista cukup tenang untuk diajak bicara, dia masuk.
"Sarah baik-baik saja. Dia masih agak syok, tapi sudah cukup pulih untuk bekerja di dapur dan memasak makan malam."
"Aku tidak tanya keadaannya." kata Trista ketus.
"Oh, aku yakin sekali kau ingin tahu tentang itu."
Trista menatap Tim dingin, "Jadi, apa kau ke sini untuk menamparku lagi?"
Tim, tidak sesuai harapan Trista, malah tersenyum dan duduk di sebelahnya. Trista membuang muka.
"Tidak." kata pria itu lembut, "Maafkan aku."
Trista diam saja.
"Aku telah sangat mengecewakanmu selama bertahun-tahun. Aku mengecewakan Cliff. Sarah. George. Juga diriku sendiri. Rasanya seperti kutukan, kau tahu? Mengecewakan setiap orang di sekitarku, termasuk diriku sendiri."
Selama beberapa saat tak ada yang berbicara. Langit di luar jendela kamar Trista sudah berubah jingga keabu-abuan.
"Waktu itu, ketika aku mengetahui Sarah mencoba bunuh diri, aku berada di titik paling rendah. Hidupku seperti tembok lapuk yang akhirnya runtuh. Aku merasa bahkan rasanya lebih buruk, jauh, jauh lebih buruk daripada ketika hakim menjatuhkan hukuman penjara padaku. Aku merasa... gagal. Dan tak berguna. Sarah berkali-kali menyesali keputusannya. Dia merasa sangat bodoh karena begitu saja memercayai insting 'Diana-orang-baik'nya, dan tidak bisa menghilangkan perasaan itu juga." kata Tim sambil menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zero
Teen FictionSaat berumur delapan tahun, Trista mengalami kecelakaan traumatis yang membuatnya kehilangan ingatan. Bertahun-tahun terpisah dengan kedua orangtuanya, kini mereka datang untuk membawa gadis itu pulang, ke rumah keluarga Frauss. Tetapi Trista bukan...