Awalnya Mrs. Nelson syok berat begitu diberitahu bahwa Trista hendak ke prom. Dia marah-marah sebentar dan menyinggung soal remaja zaman sekarang yang menurutnya 'serba spontan' dan 'kurang tanggap', agak mengingatkan Trista pada Lucy ketika menyindirnya di dapur tadi sore. Namun setelah berhasil menguasai diri, bak profesional dia langsung menyuruh Trista duduk di depan meja rias dan mulai bekerja.
Hanya butuh sekitar sepuluh menit untuk menata simpel rambut Trista berkat pertolongannya. Mrs. Nelson menggerai rambut Trista begitu saja, setelah mengeriting ujung-ujungnya dia mengambil sebagian rambut bagian atas untuk dibuat gelungan sederhana dan menahannya dengan jepitan bunga manis berwarna krem milik Lucy. Sementara Lucy sibuk berteriak-teriak bahwa di dalam kotak ternyata sudah ada sepatu hitam yang terbungkus kertas tipis, yang sebelumnya luput dari perhatian mereka. Mrs. Nelson memberi make-up seadanya pada wajah Trista berhubung mereka-tepatnya Trista-dikejar waktu, dan setelah selesai, Lucy menyodorkan clutch bag warna krem yang senada dengan jepit rambut bunganya untuk digunakan sobatnya.
Trista akhirnya mengerti ucapan ibunya soal betapa dirinya akan menghidupkan kembali masa-masa kejayaan gaun tua itu, karena ibunya memang benar. Dia mematut dirinya di depan cermin untuk terakhir kalinya dan tak bisa memungkiri bahwa gaun itu terlihat luar biasa. Gadis itu berputar dan mengecup pipi Mrs. Nelson.
"Kau ibu peri dalam dunia nyata, Mrs. Nelson, terima kasih." ujarnya tulus. Mrs. Nelson meambai-lambaikan tangannya panik.
"Cepatlah pergi, kau nggak punya banyak waktu! Luce, antarkan dia!"
"Mobil Dad?!" mata Lucy berbinar cerah, "Serius, Mom?!"
"Sudah cepat!"
Tidak ada yang mengalahkan wajah kebingungan Mr. Nelson ketika melihat putrinya-yang-panik dan teman-putrinya-yang-mengenakan-gaun-dan-juga-panik meluncur turun dari tangga, memberinya kecupan sekilas sambil menggumamkan kata-kata cepat dan tak jelas seperti 'Pinjam mobilmu, Dad!' dan 'Permisi dulu, Mr. Nelson!' lalu melesat ke luar. Lucy melompat masuk ke dalam mobil dan selagi dia memundurkan mobil ke jalan raya, dari jendela persis di atas teras, terdengar seruan.
"Kubilang juga apa! Kau terlihat cantik!"
Trista mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil untuk mendongak pada Andrew, yang sedang melambai padanya dari jendela atas yang terbuka, kemudian dia balas berseru.
"Trims, Andrew!"
Normalnya, dari Hendersonville ke Redville memakan waktu dua jam lebih, namun Lucy menyadari kegentingan situasi yang sedang dihadapi temannya, karena itu dia tancap gas. Hebatnya, Lucy pengemudi yang efisien. Dia tidak membuang-buang waktu melambatkan mobilnya, dia hanya melakukan itu pada saat-saat yang tepat seperti ketika ada mobil patroli, atau ketika lampu merah. Itupun dia lakukan sembari mengetuk-ngetuk setir campuran ketidaksabaran dan frustasi.
Hasilnya Lucy sukses memangkas waktu tempuh menjadi satu setengah jam hingga mereka mencapai pelataran parkir Redville High. Gimnasium sudah ramai. Banyak orang keluar masuk pintu utamanya dan dalam terpancar cahaya-cahaya lampu warna-warni, suara dentuman musik dan riuh rendah murid-murid yang sedang berdansa.
"Sudah setengah jalan." Lucy menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi, "Setidaknya kau nggak telat-telat amat."
Trista memeluk sahabatnya itu, "Terima kasih sudah mempertaruhkan nyawamu untukku. Well, nyawa kita berdua."
"Aku tahu. Aku memang sobat cewek terkeren sedunia. Dan kau juga terlihat keren! Jadi turunlah dan berdansa!" usirnya.
"Bye, Luce. Aku akan meneleponmu nanti." Trista membuka pintu mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zero
Teen FictionSaat berumur delapan tahun, Trista mengalami kecelakaan traumatis yang membuatnya kehilangan ingatan. Bertahun-tahun terpisah dengan kedua orangtuanya, kini mereka datang untuk membawa gadis itu pulang, ke rumah keluarga Frauss. Tetapi Trista bukan...