"Astaganaga! Tris! Kau ngapain di sini?!"
Lucy menganga sekitar sepuluh sentimeter ketika melihat Trista berdiri di depan pintu rumahnya pukul enam pagi, dengan ransel dan kotak kaca Zero di tangan.
"Hai, Luce." Trista menyeringai, "Sori aku nggak meneleponmu sebelumnya. Boleh aku masuk?"
"Ap-oh, tentu!" Lucy bergeser ke samping agar Trista bisa masuk.
Rumah keluarga Nelson tidak banyak berubah dengan yang terakhir kali Trista ingat. Ada lampu gantung kristal di lorong, di sebelah tangga menuju lantai atas. Di kiri lorong adalah ruang tamu, dengan sofa-sofa empuk yang masih bermotif garis-garis biru, meja kecil, sebuah lemari pajangan besar, dan sebuah televisi. Di sebelah kanan adalah semacam ruang santai, dengan banyak rak buku berjajar di sisi-sisi dindingnya, kursi-kursi, dan sebuah perapian yang hampir tidak pernah dinyalakan. Sementara jika berjalan lurus, Trista akan menemukan toilet, serta dapur sekaligus ruang makan. Tetapi Lucy langsung menggandengnya menaiki tangga menuju kamarnya.
"Ibu dan ayahku sedang lari pagi. Adikku masih molor di kamarnya. Ya ampun, Tris, kau bikin aku jantungan." kata Lucy sembari menutup pintu kamarnya, "Jangan harap aku bakal percaya alasanmu datang pagi-pagi buta begini adalah untuk kunjungan nostalgia. Jadi, ada apa?"
Trista menjatuhkan ranselnya di ranjang Lucy dan meletakkan kotak kaca Zero hati-hati di atas meja komputer, kemudian merebahkan dirinya sendiri ke kursi bulat besar di sudut ruangan, "Yeah. Memang bukan buat nostalgia."
Trista bisa merasakan sahabatnya itu tengah menatapnya khawatir, tetapi Trista menghindari tatapannya.
"Kau senggang seharian ini?" Trista akhirnya mendongak, "Karena ceritaku bakalan panjang."
Lucy berjalan ke ranjangnya dan menggabrukkan diri, "Aku punya sepanjang hari."
Maka selama dua jam itu Trista menumpahkan segalanya. Fakta-fakta tentang dirinya yang Lucy belum ketahui. Fakta bahwa dia dititipkan kepada Diana oleh orangtuanya sendiri, dan kenyataan bahwa dia tidak bertemu dengan Cliff selama bertahun-tahun sejak itu. Juga bagaimana Trista mulai merasakan perasaan yang tidak lazim, yang tidak seharusnya tumbuh bagi kakak laki-lakinya, dan menderita karenanya.
Lucy bungkam sepanjang cerita Trista, menyimak dengan sungguh-sungguh. Bisa terlihat pada awalnya, dia terlihat agak syok dengan hal-hal yang Trista paparkan, namun sepertinya dia menahan diri untuk tidak bertanya hingga sobatnya selesai menjelaskan. Trista juga dapat menangkap segaris kekecewaan pada raut wajah Lucy, ketika dia tiba pada penghujung ceritanya.
Gadis itu menarik-narik kepang perancisnya dengan alis berkerut, menatap karpet kamarnya dengan pandangan menerawang.
"Katakan sesuatu." pinta Trista putus asa.
Lucy mengangkat pandangannya.
"Entahlah, Tris." komentarnya akhirnya, "Kau ingin aku berbuat apa? Marah-marah soal kau yang memutuskan untuk nggak menceritakan sebagian besar detail penting dalam hidupmu padaku setelah selama ini, atau mengasihani duka hidupmu dan segala tetek bengek tentang perasaanmu 'tak lazim'mu terhadap Cliff?"
Pada momen-momen seperti sekarang, Lucy bisa berubah menjadi monster kejam sekaligus psikolog pakar pada saat yang bersamaan.
"Atau tentang bagaimana kau merasa menjadi korban penyembunyian jati diri? Atau tentang kau yang merasa selalu dibohongi..."
"Kau satu-satunya pihak netral di sini." Trista mengungkapkan, "Aku hanya butuh bercerita pada seseorang yang kutahu nggak akan memusingkan harus memihak siapa."
Lucy beranjak dari ranjangnya dan berlutut di depan kursi bulat yang Trista duduki, "Aku selalu di pihakmu, jadi kurasa aku juga nggak akan netral."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zero
Teen FictionSaat berumur delapan tahun, Trista mengalami kecelakaan traumatis yang membuatnya kehilangan ingatan. Bertahun-tahun terpisah dengan kedua orangtuanya, kini mereka datang untuk membawa gadis itu pulang, ke rumah keluarga Frauss. Tetapi Trista bukan...