Keesokan harinya pukul tujuh, setelah sebelumnya menyempatkan diri untuk mengisi ulang tempat makanan Zero, Trista turun ke dapur, berniat mencuri sebotol air dingin dari dalam kulkas sebelum berangkat untuk di bawa ketika Sarah memergokinya dan tercekat.
"Kau dan Lucas sudah baikan?" tanyanya tiba-tiba dengan masih menahan napas, tampangnya seperti baru mendengar kabar dari televisi kalau Orlando Bloom bakal mengadakan jumpa fans di Redville.
"Apa?" Trista melongo melihat ibunya mengamati dandanannya dari atas ke bawah, kemudian tersadar. "Oh, bukan pergi sama Lucas kok, Mom. Dengan Cliff."
"Cliff?" bahu Sarah langsung turun, "Apa perlu dandan habis-habisan begitu?"
Habis-habisan? batin Trista seraya mengamati dirinya sendiri dari pantulan pintu kulkas. Tidak ada yang 'habis-habisan' pada penampilannya, dia hanya meminjam pengeriting rambut ibunya untuk mengikalkan ujung-ujung rambutnya sedikit dan mencoba lipstik rose plum barunya—Trista belum mendapat kesempatan untuk memakainya sejak dibeli. Pakaiannya juga biasa-biasa saja, blus biru dengan jins gelap yang sering dipakainya ke sekolah, bukannya rok super mini dengan jaket kulit motif macan tutul plus stoking jala atau apa.
"Kau belum pernah kulihat memakai atasan selain yang berbahan katun atau flanel, Trista. Itu satin." Sarah bersikeras. Trista memutar bola mata.
"Mom, sudah deh. Ganti suasana boleh kan?" gadis itu maju dan mengecup pipi ibunya, "Pergi dulu."
"Oh!" Sarah berseru, "Pulangnya beli telur dan daging asap!"
"Byeee."
Trista menutup pintu depan dan berjalan menuruni tangga teras. Cliff sudah memundurkan SUV ke jalan raya. Sembari berjalan, dari jendela pengemudi yang terbuka Trista dapat melihat abangnya sedang menyetel radio.
Rasanya sudah seperti kencan saja.
"Mom suruh apa?" tanya Cliff begitu Trista naik dan menutup pintu.
"Titip telur dan daging asap waktu pulang nanti."
"Besok menunya makaroni panggang?" tanya Cliff lagi sambil memajukan mobil, "Perlu beli keju nggak?"
"Nggak, masih ada banyak di kulkas." sahut Trista, kembali terhempas ke kenyataan karena percakapan titipan-belanja semacam ini tidak akan terjadi pada kencan betulan manapun.
Radio mendadak memperdengarkan intro menghentak-hentak bernada tak asing, yang saking seringnya diputar di televisi jadi terngiang-ngiang di otak mereka. Secara serempak Trista dan Cliff mengerang.
"Tahu nggak, kalau radio hanya memutar lagu-lagu sejenis ini untuk seterusnya, aku bakal sangat khawatir dengan selera musik generasi muda di masa depan." komentar Cliff, cepat-cepat mematikan radio.
"Kau kedengaran kayak kakek-kakek."
"Aku serius." Cliff melambatkan mobil di lampu merah. "Aku bahkan bertanya-tanya, bagaimana cara sebagian besar penyanyi electropop zaman sekarang dapat memuaskan telinga penonton mereka di konser live. Maksudku, lagu mereka bagiku isinya efek synthesizer melulu. Mereka bakal menghabiskan sepanjang waktu berada di balik synthesizer. Mana interaksinya?"
"Lalu mengapa ada fans?" Trista mengangkat alis sangsi, "Kalau mereka benci penyanyi yang berada di balik synthesizer?"
"Aku tahu..." kata cowok itu. Lampu sudah berubah hijau, "...aku hanya berpendapat bahwa semua itu terasa... palsu. Bernyanyi ya bernyanyi, dengan suaramu. Lewat jiwamu, bukan lewat pengubah-suara. Dan instrumen seharusnya dimainkan secara langsung."
Trista menatap Cliff dengan sorot ngeri, "Kau ini hidup di abad ke berapa sih?"
Cliff mengernyitkan alis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zero
Teen FictionSaat berumur delapan tahun, Trista mengalami kecelakaan traumatis yang membuatnya kehilangan ingatan. Bertahun-tahun terpisah dengan kedua orangtuanya, kini mereka datang untuk membawa gadis itu pulang, ke rumah keluarga Frauss. Tetapi Trista bukan...