Chap 21

9.9K 534 17
                                    


Sedikit khawatir kalau-kalau akan berakhir dengan ke salah pahaman, lalu takut untuk kedua kali merasa kehilangan. Sarah masih memiliki sedikit perasaannya, meski klise ia akui Madeline lebih dominan sekarang. Ashton, biarkan lah mulut pria itu berbusa, satu katapun tidak ada yang sampai masuk ketelinga. Madeline berputar-putar dalam benak, membayangkan kata perpisahan benar-benar keluar dari mulut wanita itu untuknya. Lalu meninggalkannya seorang diri, dikukung kegelapan, diselimuti kesepian. Lagi..

Ia tak ingin hidup seperti itu lagi, walau tidak sepenuhnya memiliki seorang Madeline setidaknya ada semangat dipagi hari untuk ia terbangun dan melihat wanita itu dimeja makan, menyambutnya dengan senyuman disore hari, lalu menyelinap pukul dua pagi untuk tidur di ruangan yang sama meski tempatnya sejauh lima langkah kaki sampai ke ranjang yang wanita itu tiduri.

Setidaknya ada semangat untuk menjalani hari, setidaknya ada sesuatu yang indah untuk dipandang lagi, setidaknya serasa ada kehidupan disini. Walau dinding yang membentengi membuat wanita itu seakan fana, se-fana Sarah dalam setiap kepulan asap rokoknya. Pada intinya ia belum siap, mungkin tidak akan pernah siap untuk melepas wanita ini, wanita yang belum genap 24 jam lagi tidak ia temui selama dua hari. Matanya sembab, tak tega ia melihat. Mungkin lapar, mungkin merasa dibodohi, namun yang jelas ia yakini bukan karena rasa cintanya pada Antoni. Wanita ini tidak pernah mencintainya, ya kan? Persetan, ia sangat berterima kasih pada sang kakak ipar yang telah membujuk wanita ini untuk keluar.

Tangan yang dingin, satu-satunya bagian tubuh yang bebas disentuh Antoni. Hanya sekedar tangan untuk seorang suami, bayangkan betapa sakitnya pria ini? haruskah ia sedikit keras? menyalahi aturan demi melampiaskan perasaan cintanya yang semakin besar tiap kali bersua pandang.? Ya, mungkin harus sedikit kasar, dan Antoni hanya ingin ia sadar. "Ikut aku." Sampai tak ia biarkan wanita itu mengelak barang sedikit saja, ditariknya menuju suatu ruangan. Tak perduli ia dicap gila, ada sesuatu yang harus dijaga dan dirawatnya didalam box itu. Bodohnya tak ia biarkan wanita yang menyandang gelar Countess of London atas dirinya ini untuk tahu, karena khawatir akan cemburu.

Wanita itu terbelalak, seiring dengan aroma rose yang menyerebak. "Puas kau kira aku melecehkan mayat?" kiranya itu yang Antoni tahan dalam hati. Matanya berair, memandang Antoni meminta penjelasan. Digenggam kembali tangannya, mengiring supaya duduk disofa kesayangan Sarah sebelum mulai bercerita. Ini alasannya..

"Siapa namamu?" wanita sok jagoan itu menunduk malu, baru saja ia dikalahkan putra semata wayang Lord Berkly dalam waktu satu menit saja. "Sarah Alodie." Sedikit angkuh, tapi ia merasa tertantang dengan wanita macam ini. Menyembunyikan diri demi menaklukan persepsi orang dengan personanya yang palsu. Setengah dari setahun ia tampung seorang Sarah dimansionnya, dan wanita itu tidak angkuh, melainkan rapuh, berpuluh-puluh kilometer jarak yang ia tempuh hanya karena sebuah perintah untuk membunuh.

Awalnya iba, lalu cinta, kendati sempat ingin dihabisi. Antoni putra semata wayang Lord Berkly tak mampu menahan pesona kecantikan alami yang tuhan beri pada wanita ini. tinggal satu atap membuat mereka sering bertemu dan jatuh cinta, tanpa tahu satu hal yang disembunyikan Sarah darinya. Malam itu Sarah berniat untuk jujur. Duduk dihamparan padang rumput, melihat kearah galaxy menikmati keindahan langit yang tuhan suguhkan dengan percuma. Satu tangannya menggenggam tangan Antoni, satunya lagi sebuah pedang dengan ukiran gagang berwarna hitam pekat, bermata berlian ungu didepan dan belakangnya.

"Kau tahu aku mendapatkan ini dari mana?" Sarah memperlihatkan pedangnya. "Mendiang ayahmu yang memberikan ini untukku. Tunggu, jangan dulu tanya kenapa aku mengenali ayahmu. Kau harus dengarkan ceritaku dulu." Sarah menaruh pedang itu dalam pangkuannya, aroma anyir menyengat dari sana entah berapa orang yang mati melalui pedang tersebut dan dibiarkan kering hanya dengan dilap saja. Menurutnya lewat aroma itulah lawannya akan takut, terdengar mengerikan untuk terlontar dari mulut seorang wanita cantik. Tapi inilah kehidupan yang ia jalani.

Untitled Love (Our Lady Orva)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang