Valerrie bergerak dalam tidur, mata yang sedikit terbuka membuatnya menyadari presensi Henry yang terduduk di samping ranjangnya saat ini. Sial, sebegitu merindukannya kah dirinya? matanya kembali terpejam dengan seulas senyuman menganggap mimpi indah nan konyol itu sebagai hiburan semata."Ayo kita pulang."
Tunggu, ini bukan mimpi?
Ya tuhan, Valerrie bahkan tak sanggup membuka matanya kembali hanya untuk menerima kenyataan di hadapannya ini. Ayolah, berapa lama pria itu ada disini? apa ia telah melihat mulut terbuka Valerrie selama tidur? apa ada air liur memanjang yang mengerak di sudut bibirnya saat ini? tidak, Valerrie tentu tidak sejorok itu tapi mana tahu ia jika sedang tidur? tidur bukan sesuatu yang bisa dikendalikan bagi semua orang."Kau masih ingin tetap tidur? ini sudah siang."
Kalimat 'ini sudah siang' membuat Valerrie lantas bangun dengan gerakan cepat tanpa melihat Henry, ditariknya selimut dengan tergesa menutupi tubuh hingga ke puncak hidung, matanya mengedip beberapa kali memandang Henry tanpa suara.
"Kemasi pakaianmu, kita pulang hari ini juga." Henry beranjak, hendak meninggalkan Valerrie untuk memberinya waktu siap-siap.
"Aku tidak ingin pulang!" ucapnya lantang, selimut tadi bahkan dijatuhkan kembali begitu saja. Masabodo dengan penampilannya saat ini, yang jelas Valerrie hanya ingin pria ini tidak se-enaknya memerintah hanya karena tahu Valerrie menyukainya.
"Ayahmu mencemaskanmu." Henry memutar tubuh. Namun sayang, Valerrie tak perduli, atau pura-pura tak perduli, sebab ia tak menampik kerinduannya pada sang ayah, Kendati tak ingin kembali sebelum niatnya menikahi gadis belia itu benar-benar dibatalkan. Valerrie menatap suram kearah Henry, ia menyadari Henry datang bukan karena keinginannya mencari Valerrie.
"Siapa yang menyuruhmu mencariku? aku ingin tinggal disini," gumaman Valerrie, membuat Henry menghembuskan napas panjangnya sebelum membalas.
"Darrellyn yang menyuruhku," ungkapnya, membuat Valerrie tertawa miris dengan firasatnya yang sungguh nyata rupanya.
"Ia dan Duke of Edinburgh tidak bisa melanjutkan perjalanan kemari. Darrellyn tiba-tiba sakit, dan His Grace memutuskan untuk kembali setelah tahu Darrellyn sedang mengandung saat ini." Mata Valerrie merotasi, sedangkan kepalanya mengangguk-ngangguk paham akan keadaan.
"Syukurlah, kau juga harus segera kembali. Katakan pada ayahku, aku akan pulang jika ayah membatalkan pernikahannya." Valerrie turun dari ranjangnya, hendak pergi ke kamar mandi saat ini.
"Jangan egois Valerrie, pulanglah," pinta Henry, dengan penuh penekanan.
"Sudah ku bilang aku ingin disini Henry."
"Lalu tinggal bersama pria asing yang belum beristri? meski tak ada apapun orang-orang akan menganggapmu--" ucapan Henry terhenti, sebab tahu mungkin Valerrie akan tersakiti.
"Aku kira kau akan cemburu." Henry terdiam sesaat, susah payah ia melupakan perasaannya yang berlebihan pada wanita ini. Tapi ia tahu, berucap jujur bahwa perasaannya yang dulu telah hilang akan semakin membuat Valerrie enggan untuk pulang.
"Ya, aku tidak ingin kau tinggal dengannya." Henry mengumpat dalam hati, ia tak ingin membuat Valerrie larut dalam perasaannya. Tapi sungguh, wanita ini keras kepala.
"Kalau begitu nikahi aku." Henry membelalakan matanya. Menumbuhkan kembali perasaannya bukanlah hal yang sulit dilakukan, tapi pertimbangan lain harus dipikirkan.
"Tidak Vale, kau tahu kekayaan ayahmu bukan berasal dari warisan turun-temurun? ayahku bukan orang kaya, tidak ada yang bisa ia warisi padaku, dan aku tidak memiliki pekerjaan. Aku tidak akan bisa mencukupimu," ujarnya pelan, sehalus mungkin tak ingin menyakiti hati Valerrie.
"Sudah kuduga, haha...forget it. Pulanglah tanpa aku." Meski sakit, mungkin Epione meminjamkan kekuatannya sebab Valerrie mampu menahan rebak air mata.
"Valerrie kita ini saudara." Lirih Henry.
"Kau tahu betapa aku menyesal terlahir sebagai saudaramu?" Valerrie memutar tubuhnya, mendekat kearah Henry yang telah merubah air muka.
"Sudah kukatakan berulang kali bahwa; perasaan bodoh ini adalah kesalahan. Kita tidak bisa bersama Vale. Kau harus membuka hatimu untuk pria lain." Henry mencengkram kuat pundak Valerrie, mencoba memberinya pengertian bahwa mereka masih bisa saling menyayangi, saling menguatkan, saling melindungi namun dalam garis yang lain.
***
Langkah Sir.Jordan terhenti, duduk dibangku dengan menatap langit biru bergoreskan abstrak awan putih pada langit-langit kaca yang transparan. Semalam ia memutuskan membawa Henry kerumahnya, ia tahu pria itu begitu mengkhawatirkan Valerrie dan barusan ia ketahui kekhawatiran itu lebih dari sekedar khawatir pada seorang sepupu. Mereka memiliki perasaan yang seharusnya tidak pernah tumbuh di hati mereka. Sir.Jordan ketahui itu saat tak sengaja melewati kamar Valerrie dan mendengar percakapan antara mereka.
Sir.Jordan ingin membantu awalnya, ia tidak menyukai orang-orang yang berputus asa akan kehidupan, yang sialnya memang ada saja yang perlu dikeluhkan. Tapi untuk apa? Tuhan tidak akan dengan begitu saja menerima keluh kesah tanpa kehendaknya terselesaikan sampai kau berhasil lolos ujian. Sayangnya, Sir.Jordan lebih dari paham apa maksudnya.
Sir.Jordan menolak untuk menjadi anak manusia yang religius, ia hanya ingin meyakini keberadaan Tuhan dengan caranya sendiri. Sejujurnya ia sedikit bersyukur, bagaimana tuhan telah memberinya kekuatan untuk bertahan melalui kepedihan ditahun-tahun menyakitkan ke delapan setelah kelahirannya. Disaat semestinya anak seusianya mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tua, Jordan kecil terbangun ketika sang ibu mengusiknya penuh air mata dan memintanya untuk pergi dari rumah.
Keadaan genting membuat Jordan sedikit sulit mencerna dengan linglung, keringat dan air mata sang ibu membuatnya tak tega meninggalkan rumah sendirian meski berkali-kali dorongan keras membuatnya terhuyung. Ohh ayolah ia baru delapan tahun saat itu.
Sang ayah tiba di ambang pintu, menggenggam pundak sebelah kiri dengan sempoyongan, Jordan yakin tak hanya pundaknya yang terluka bersimpah darah, luka dikaki juga menyulitkannya berjalan sampai kekamar sang anak untuk meminta isteri tercintanya ikut serta pergi bersama Jordan. Alih-alih kabur bersama, ibu menghambur memeluk ayah dan menangis, disaat itu Jordan kecil melihat seorang pria menembak brutal kearah ayah dan ibunya.
Duke of Birmingham, telah merengut dunia seorang anak delapan tahun dengan membantai habis keluarganya tanpa perasaan.
Jordan satu-satunya yang selamat dari rumah itu pergi tak tahu arah, air mata membawa serta cipratan darah kedua orang tua dipipinya mengalir hingga mengenai pakaian. Ia berhenti di pelabuhan, berharap belas kasihan orang-orang yang berlalu lalang. Namun tak satupun yang iba, mereka menjauh dan menakuti anak delapan tahun yang penuh cipratan darah karena khawatir bahaya yang akan mengintai mereka jika mendekati Jordan yang hampir kehilangan suara memintai pertolongan.
Tak ada yang mau mendengar suara kecilnya, jerit tangisnya, bahkan perih di hatinya. Jordan memutuskan berjalan sendirian ke tengah hutan, bertemu gelandangan yang ternyata lebih memanusiakan manusia dari pada orang-orang berpangkat bangsawan yang berlalu lalang disekitar pelabuhan untuk liburan. Darinya Jordan belajar arti kehidupan, untuk tetap betahan menjalani kehidupan, untuk tidak menyimpan dendam apalagi membalaskan.
Diusianya menginjak enam belas tahun Jordan kembali ketengah-tengah mereka yang tak berperasaan. Tetap dengan senyuman sebab sekarang hatinya lebih ringan dari pada orang-orang berparas rupawan yang lebih mementingkan adat istiadat dan harga diri diatas perasaan seseorang. Lucunya, sekarang Tuhan beri kepercayaan pada anak delapan tahun yang lalu menangis miris di tempat ini untuk mengelola pelabuhan, bisnis-bisnis lain kian berdatangan hingga saat ini membuatnya mendapatkan tempat tinggal yang layak, serta mengantarkannya menjadi seorang baron di Birmingham.
Jordan bertekad melupakan masa kelam demi hidup yang nyaman. Mengemban tugas di pelabuhan membuatnya berjanji akan membantu orang-orang yang kesulitan. Hingga ia temui Valerrie, niat menolong berubah menjadi perasaan yang sulit diartikan. Mungkin akan semakin sulit sebab ada Henry, tapi ia berjanji akan melindungi Valerrie dari orang-orang suruhan Lord Alodie, Duke of Birmingham yang telah membantai habis keluarganya karena memiliki sejumlah tagihan.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled Love (Our Lady Orva)
RomanceLady Darrellyn Orva, adalah kakak tertua dari enam bersaudara. Suatu ketika nama keluarga Orva tercoreng olehnya karena gagal melangsungkan pernikahan dengan seorang Viscount berengsek yang malah mengkhianatinya dengan menikahi wanita lain. Sejak sa...