Salju pertama turun, hal menarik yang selalu ia tunggu-tunggu bersama kelima saudarinya dengan hati berdebar, kini tampak suram, dinginnya bahkan sampai kehati yang kesepian. Henry tak pernah datang lagi sejak kemarin, membuatnya bertekad kuat melupakan sebab tahu harapannya semakin jauh saja. Mungkin tiada lagi dirinya dalam hati pria itu, pun tiada lagi yang bisa ia lakukan sekarang.Namun ia harus tetap hidup, ia harus mencari kebahagiaannya sendiri di tempat yang baru ini. Valerrie beranjak, meninggalkan jendela beruap yang sudah dua jam menemaninya dalam kesedihan dan kesendirian, meratapi nasib yang sudah Sir.Jordan katakan tak kan berguna untuk masa depan.
Kaki-kakinya berjalan kesetiap penjuru ruangan, mencari Sir.Jordan yang ia yakini tidak pergi ke pelabuhan untuk sekedar menagih iuran atau iseng mengecek para imigran yang berdatangan. Pria dengan seribu pemikiran positif itu memang harus ia temui, harus ia dekati, sebab tahu segala petuahnya mampu membuat Valerrie bangkit lagi.
"Sir.."
Valerrie temui pria itu di suatu ruangan kosong yang hanya ada perapian menyala, karpet berbulu domba, dan sebuah sofa. Ruangan yang baginya terlalu hambur dibuat ini ternyata menjadi kesukaan Jordan untuk menghangatkan diri dengan membaca sebuah buku psikologi dalam pangkuan.
"Valerrie? kemarilah, jangan sungkan." Pria itu menoleh ketika dipanggil, memberikan senyuman sebelum tangannya menepuk-nepuk sisi dari sofanya yang masih kosong. "Apa aku tidak mengganggu?" tanya Valerrie, ragu.
"Tidak, datanglah sesering yang kau inginkan. Aku senang kau ingin keluar kamar untuk mengobrol bersamaku," ucapnya seraya menutup buku yang bahkan belum habis ia baca setengahnya.
"Tidak, membacalah. Jangan ditutup hanya karena ada aku, aku tidak apa-apa," ujar Valerrie setelah mendudukan diri di samping Sir.Jordan yang malah menutup bukunya, seolah Valerrie lebih penting untuk disimak.
"Hanya untuk menemani rasa bosan awalnya. Sekarang kau disini, aku rasa tak kan semembosankan barusan." Ia terkekeh pelan.
"Aku hanya ingin lebih dekat dengan orang yang telah memberiku pertolongan," ucap Valerrie.
"Ahh sudah kubilang jangan sungkan, kita kan teman." Sir.Jordan lagi-lagi memberinya sebuah senyuman.
"Saat aku kecil, aku sering menikmati salju pertama dengan ayah dan ibuku dengan bercerita. ayah yang pertama memulai, ia bilang musim dingin yang paling menyenangkan ketika ia menginjak usia lima tahun. Ketika untuk pertama kalinya ia diperbolehkan keluar oleh kakek dan nenek, ia banyak melihat orang-orang terjatuh karena jalanan yang licin. Ayah menertawakannya tanpa henti, hingga ia tergelincir juga dan baru merasakan rasa sakitnya.
Bodohnya aku tertawa mendengarkan itu, lalu melupakan fakta bahwa aku juga tak pandai berjalan pada jalanan yang licin, saat kami keluar rumah ayah tak henti-hentinya menertawakanku." Sir.Jordan memulai dengan sebuah cerita kecil pada Valerrie.
"Hahaha..Kau tak seharusnya menertawakan sejak awal, sebenarnya aku juga pernah menertawakan adikku. Zane adalah anak ayah paling bandel, sudah tahu licin ia tetap ingin berkuda di halaman rumah, dan aku lihat kudanya kesulitan berjalan, kaki-kakinya tampak lucu ketika mencari keseimbangan, pada akhirnya mereka jatuh bersama." Tawa Valerrie pecah. Sir.Jordan hanya bisa memberi tanggapan-tanggapan antusias pada ceritanya, meski begitu rasanya senang sekali dalam hati karena bisa melihat wanita ini tertawa dengan begitu lepas.
"Apa kau ingin menikmati salju pertama denganku?" tawar Sir.Jordan.
"Mmm..di luar? aku tak yakin," keluh Valerrie.
"Tidak akan sedingin jika salju sudah menumpuk, ayo kita pergi ke pub."
"Kedengarannya menyenangkan, aku belum pernah pergi ke tempat itu sebelumnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled Love (Our Lady Orva)
RomanceLady Darrellyn Orva, adalah kakak tertua dari enam bersaudara. Suatu ketika nama keluarga Orva tercoreng olehnya karena gagal melangsungkan pernikahan dengan seorang Viscount berengsek yang malah mengkhianatinya dengan menikahi wanita lain. Sejak sa...