11| Minuman Rasa Cinta

517 12 1
                                    

"Aku suka senja, apalagi jika bersamamu aku menikmatinya"


Penat begitu terasa ditubuh Aster. Air panas shower, mungkin bisa merelaksasikan tubuhnya. Secepatnya ia ingin merendam diri dalam tub kamar mandinya. Engsel-engsel, sendi-sendi, maupun urat-urat ditubuhnya terasa sudah lari dari tempatnya. Hari ini terasa lebih panjang.

Ia buka knop pintu kamarnya. Alangkah kesal hatinya melihat keadaan ruangan ini. Bukan Aster sekali, seprei yang membalut ranjangnya sudah terbuka jauh dari asalnya, buku-buku yang tersusun rapi sudah berserakan penuh dengan coretan. Aster menghembuskan nafas kesal. Ia tak memiliki energi lagi untuk marah, ia masuk ke kamar mandi. Rasanya emosi Aster akan membakar rumah ini. Lagi-lagi Nana, adiknya Sarah mengacak kamar mandinya. Air sudah berceceran dilantai kering itu, busa-busa sabun sudah mengenai semua bagian tirai. Argghhh, menyebalkan sekali.

Nana sendirian dikamar Aster, herannya orang tuanya tak mencegah anak itu melakukan apapun. Seharusnya, mamanya paham statusnya. Setidaknya anak itu harus dipantau kuat oleh orang tuanya. Namun dimana pihak itu sekarang. Aster tak dapat menahan emosinya lagi.

Lenggang langkah wanita paruh baya itu masuk ke kamar Aster. "Hai Aster." Sapanya diacuhkan oleh Aster.

"Mama, Nana suka tempat ini. Nana mau kamar ini."

"Ohya? Nana mau kamar ini?"

"Iya. Nana mau kamar ini. Nana suka semua yang ada dikamar ini." Mendengar apa yang dikatakan anaknya, wanita itu senyum seolah dapat mengabulkan apapun.

"Lo denger itu Aster?" Sarah tiba-tiba masuk ke kamar Aster.

"Apa?"

"Adek gue suka kamar lo, jadi lo harus keluar dari sini." Dengan rasa sangat tidak bersalah, Sarah melontarkan perintah itu pada Aster.

Aster berdecik geli. "Lo kira gue bakal nurutin?"

"Iyalah. Gue penguasa disini, gue nyonya muda disini. Selama papa lo gak ada gue yang berhak ngatur dirumah ini."

Oh my god. Rasanya ingin sekali Aster mencabik mulut perempuan ini. Aster harus bertahan, Aster harus bersabar.

"Aster saya minta secepatnya kamu beresin barang-barang kamu, dan segera pindah kamar." Mama-nya Sarah memberi perintah lagi. Apa pula pangkat wanita ini, kenapa Aster harus menurutinya. Kenal saja baru seminggu sudah berani sekali dia mengatur diri Aster. Lagi-lagi Aster harus bertahan.

"Terus aku harus kemana?" Aster masih mencoba bersikap sopan.

"Kamar pembantu didekat dapur masih ada yang kosong. Mungkin lo bisa masuk disana, atau sekamar sama Bi Ira?" wahh, benar-benar. Satu bulan Aster sudah serumah dengan penyihir macam Sarah, sebulan itu juga rasanya perlahan hatinya dihabiskan.

"Secepatnya yaa Aster." Titah si julit itu.

***

Pagi ini Adnan memaksa menjemput Aster. Karena hal itu pula mereka harus keliling lapangan futsal, basket, dan voli sekaligus. Sebab mereka masuk dalam detik-detik bel berbunyi,bisa dibilang hampir telat. Tak heran bagi Adnan berolahraga pagi seperti ini, namun bagi Aster ia terlalu sering kena masalah bersama Adnan. Sebenarnya, Aster sudah siap bahkan satu jam sebelum bel sekolah akan berbunyi, namun karena Adnan lagi ia hrus menunggu satu jam itu berlalu.

Sorot banyak mata memandang Aster dengan berbagai tatapan. Ada tatapan jijik, tatapan benci, bahkan tatapan iri karena Aster dapat berlari bersama Adnan.

"Nan la-in kali, gue gak ma-u lo jemput la-gi." Aster mengucapkan kalimat terpenggal-penggal akibat letih. Keringatnya sudah bercucuran dikepala, rambut Aster yang tak diikat sudah terlihat sangan lepek dan terasa risih sekali.

AsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang