Berdiam diri di bangkunya kini mungkin pilihan terbaik yang akan ia jalani. Kepalanya terlalu berat untuk mendongak, membalas tatapan-tatapan tajam itu. Ujung-ujung jarinya hampir berdarah semua karena terkelupas oleh kuku yang terus digeseknya. Tidak bisa ia pungkiri, inilah hidupnya yang keji. Dimana yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan.Sedari tadi Adnan ikut duduk disampingnya, memerhatikan gerak-gerik gadis itu. Berbeda sekali, gadis disampingnya ini seperti bukan Aster yang Adnan kenal. Hari ini mereka datang pagi-pagi sekali, bahkan sepagi itu pun meja Aster sudah dipenuhi oleh lalat-lalat hijau karena banyak sampah diatasnya. Adnan membersihkannya, Aster diam saja, ia tetap berusaha menahan tangis walau hatinya menejerit.
"Kamu mau ke kantin?" bisik Adnan memecah lamunan gadis itu.
Aster tersenyum, kemudian menggeleng. "Aku gak laper." Sebenarnya Aster berbohong, bukannya ia tidak lapar, tapi ia takut dengan orang-orang. Ia takut dengan tatapan buruk mereka, Aster takut dengan apa yang nanti mereka lakukan.
Sejak awal ini terjadi, Adnan tidak menahan diri, ia bertindak menyelidiki. Adnan hanya pura-pura membiarkan orang itu terus meneror Aster. Adnan tau siapa pelaku dibalik semua ini, selama ini ia mencoba diam untuk melihat apa yang selanjutnya, tapi sekarang tidak lagi. Peneror itu sudah melawati batas yang Adnan beri. Ia tidak tahan lagi melihat gadis ini terpuruk sekali. Cukup, sudah cukup apa yang orang itu lakukan, Adnan tak akan diam lagi.
"Aku mau ke toilet." Aster beranjak dari tempat duduknya.
Melihat itu, Adnan langsung bergerak menahan tangan Aster. "Aku temenin yah?"
Aster tersenyum. Akhir-akhir ini Aster banyak tersenyum, namun bukan senyum yang Adnan inginkan, ini adalah senyum penggerus hati, senyum ini menyakitkan. "Gak usah, kamu mau masuk toilet cewek?"
"Yah aku tunggu diluar aja, aku temenin kamu kesana."
"Kamu itu bukan pengawal aku, aku bisa kesana sendiri."
"Ter."
"Kamu percaya kan sama aku?"
"Ter."
Aster melepaskan tangan Adnan dari tangannya, kemudian pergi keluar kelas.
"Aster!"
***
Begitu masuk toilet Aster langsung menutup pintu, ia meringkukkan tubuhnya, memeluk dirinya sendiri. Ruang sempit ini seolah menjadi tempat terbaik untuk sembunyi. Jujur, dadanya sesak menahan tangis yang luar biasa tak terkendali. Ia ambil dompet layung dari sakunya, membukanya kemudian mengambil foto yang terselip disana. "Mama."
Air matanya tumpah, sesak dadanya punah. "Aster rindu sama mama, dunia ini terlalu kejam buat Aster Ma." Mama yang Aster maksud bukanlah ibu kandungnya, melainkan istri kedua yang disia-siakan oleh ayahnya. Sosok yang selalu membelai lembut Aster, sosok yang mengasuh dan membesarkannya, sosok pemberi seluruh kasih sayang yang Aster inginkan. "Aster gak tau harus kemana sekarang Ma, Aster hilang arah, Aster—," kalimatnya terhenti, ia tak bisa lagi berkata-kata, mata sembab yang berusaha ia samarkan kini telah kembali.
"Permisi." Tuk tuk, ketuk seseorang dari luar. Membuat Aster mengusap cepat air matanya.
"Iya?" jawabnya parau.
"Kalau sudah pakai toiletnya, segera keluar saya mau membersihkan toilet ini." Ucap petugas kebersihan sekolah itu.
"Iya Bu, sebentar lagi saya keluar." Aster cepat-cepat menormalkan kembali keadaannya, dan keluar dari sana.
Begitu Aster keluar dari toilet, Adnan sudah menunggu didepan pintu. Melihat itu Aster tersenyum lagi. "Kamu kenapa disini? Kamu gak percaya sama aku?" suara Aster parau. Adnan yakin gadis ini baru saja menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aster
Teen Fiction[UPDATE TIGA KALI SEMINGGU (SELASA, KAMIS, MINGGU)] "Sekalipun cuma lo laki-laki yang ada di dunia ini, gue gak bakal bisa percaya lagi sama lo." -Aster Natusha Alkania "Sekalipun gak ada lagi yang bisa percaya sama gue lagi di dunia ini, gue bakal...