7. Pengakuan

7.1K 576 15
                                    

Di sini sekedar persinggahan untuk beramal. Dan suatu saat, entah kapan, kita pasti akan pulang. Tak ada yang bisa menolak, tapi kenapa hati, jiwa, dan pikiran ini sering lalai?

"Abi!" teriak Adnan dengan wajah memerah menahan semua luka. Dia mengguncang-guncang tubuh lelaki yang sudah dingin itu. Air matanya tak mampu ditahan lagi, menangis seperti orang putus asa.

Uminya pun terisak pilu tak mampu menerima kenyataan ini.

"Kenapa Abi gak kasih tau kalo selama ini Abi sakit? Kenapa, Bi? Abi egois sama Mama, sama Adnan!"

"Nak, ikhlaskan semuanya."

Adnan memeluk Uminya dan menumpahkan semua perasaannya lewat dekapan yang sangat menenangkan itu. Terkadang orang berpelukan dengan pasangannya itu membuat tenang tapi tidak bagi Adnan, pelukan seorang Ibu-lah yang menenangkan.

Adnan duduk lemas di sofa sambil memandangi tubuh Abinya yang ditutupi dengan kain kafan. Pilu, teriris, hatinya begitu didera oleh perasaan menyakitkan.

Tatapannya perlahan kosong. Ini adalah fase tersulit baginya, karena ia sangat dekat dengan Abinya, semua keluh kesahnya tentang bermain futsal, tentang impiannya, tentang sekolahnya, semua ia ceritakan dengan sang Abi.

Adnan keluar begitu saja dari ruangan penuh luka itu.

"Adnan?"

Karena merasa terpanggil, Adnan mendongak melihat gadis di hadapannya. Dia tak peduli jika gadis itu akan mengatainya banci atau apalah itu, karena siapa saja yang melihat wajahnya pasti tau kalau dia habis menangis.

"Kamu kenapa?" tanya gadis itu bergetar, seakan lewat tatapan sekilas itu dia tau bahwa manusia di hadapannya ini penuh luka.

"Abi ku meninggal."

Gadis itu membekap mulutnya. "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kamu yang sabar, ya."

Adnan mengangguk lesu. "Kamu ngapain di sini?"

Tak disangka pertanyaan itu membuat Tifa tak percaya. Ya, gadis itu adalah Tifa. Benarkah Adnan bertanya padanya? "Beli obat."

"Untuk siapa?"

Lagi-lagi jantung Tifa bergetar seperti saat SMA dulu. "Untuk Kakek ku." Tifa menggigit bibir bawahnya. "A ... aku boleh melihat Abi, mu?"

Tak ada jawaban membuat Tifa sedikit kecewa. "Kalo gak boleh juga gapapa kok. Aku pulang du--"

"Silahkan."

Benarkah? Apa Tifa tidak bermimpi. Dulu sangat sulit baginya untuk berbicara dengan Adnan tapi kali ini, setelah sekian lama dia bersabar akhirnya tercapai juga mimpi sederhana itu.

Perlahan Tifa membuka kain putih itu. Mirip, itulah yang ada dipikirannya. Pria itu mirip sekali dengan Adnan, alisnya tebal, hidung mancung, dan rahang yang kokoh.

"Assalamualaikum."

Semua yang ada di dalam ruangan itu tertuju ke arah pintu sambil menjawab salam. "Waalaikumsalam."

Tampaklah Devano dan Deva, pengantin baru itu masuk dengan pelan dan melihat semuanya tak percaya.

Devano menghampiri Adnan. Dia tau pasti sahabatnya sangat terpukul. "Nan, lo yang sabar, ya."

Hanya anggukan yang bisa Adnan berikan, seakan mulutnya terkunci rapat dan mata hitam pekatnya mengisyaratkan luka yang mendalam.

Deva dan Tifa sudah memeluk Umi Adnan. Tak ada kata, hanya isakan yang terdengar. Semua seakan merasakan kepiluan yang mendalam.

"Abi gue pengen liat gue nikah, No, tapi dengan bodohnya gue selalu bilang nanti," ucap Adnan penuh penyesalan.

"Nan, lo jangan nyesal dan putus asa gini, seolah semua harapan padam. Umi lo masih ada, dia masih bisa liat lo nikah."

"Arghhh! Dari dulu gue selalu bikin kacau, bikin Rona hamil dan sekarang Abi gak sempat liat gue nikah." Adnan menjambak rambutnya frustasi.

Ketiga wanita itu terkejut dengan pengakuan Adnan. Hati Uminya semakin bertambah pilu. Dan, Tifa???

Jangan lupa bersyukur hari ini😉.
Jangan lupa baca Al-Qur'an hari ini ya❤.

DEVANO 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang