22. Pilu

6.6K 499 43
                                    


3 hari setelah operasi. Dokter keluar dari ruangan Deva. "Deva sudah sadar."

"Boleh saya masuk, Dok? Saya Ibunya," tanya Widya dengan mata yang bengkak.

"Sediri-sendiri, ya, takutnya nanti mengganggu pasien."

Widya masuk dengan pelan. Dia melihat putrinya yang sedang termenung. Seperti mengisyarat luka yang sangat dalam dimata itu. Dia mendudukkan tubuhnya di samping ranjang Deva. "Nak."

Perlahan Deva melihat ke arah Widya. Raut wajahnya datar dengan tatapan kosongnya.

Widya menggenggam tangan anaknya untuk sekedar menenangkan.

Deva melihat ke arah perutnya yang sudah rata lalu menangis dengan kencang.

"Istighfar, Nak, istighfar."

"Mana anak aku? Hiks."

"Nak, tenang."

"Dafa, Mi, cucu Umi, dia di mana?"

Widya hanya bisa menangis pilu melihat Deva seperti ini. Dia tau pasti yang disebut Dafa adalah bayi yang dikandung Deva.

Widya mengelus-ngelus kepala Deva sambil sesekali bersenandung. Tangis putrinya sedikit mereda dan tak lama dengkuran halus keluar, menandakan Deva sudah tertidur.

Widya keluar dengan hati yang tersayat-sayat menahan rasa pilu yang kian merambat dihatinya. Dia berhambur memeluk Dewantara. "Deva, hiks."

"Deva kenapa, Mi?" tanya Tifa.

"Dia belum bisa menerima kenyataan kalo bayinya udah gak ada. Sebaiknya jika kalian mau membicarakan hal itu tunggu jika keadaan Deva sudah membaik."

"Umi ... Boleh Devano liat Deva?"

"Jangan sekarang. Biarkan anak saya tenang dulu!"

Dewantara menatap Devano, "Saya mau bicara sama kamu."

Devano dan Dewantara berhenti di taman rumah sakit.

"Ternyata saya salah mempercayai kamu. Kamu sudah puas melihat anak saya menderita?"

"Maafin Devano."

"Apa kamu sudah bosan dengan anak saya, sampai-sampai kamu mencari wanita lain? Kalau benar begitu, berarti kamu sudah membuat kesalahan. Tanpa sadar kamu telah menyia-nyiakan yang tulus demi yang mulus."

"Maafin Devano, Bi. Devano sayang sama Deva."

"Apa ini pembuktian rasa sayang kamu? Untung Deva bisa diselamatkan kalau tidak, apa yang akan kamu bilang sama saya? Saya kecewa sama kamu, kepercayaan yang saya berikan malah kamu permainkan. Saya memang tidak akan mencampuri urusan kalian, saya serahkan semuanya sama Deva, tapi saya lebih setuju kalau Deva memilih cerai dari kamu."

***

Selama satu bulan ini tak henti-hentinya Tifa mengunjungi Deva begitupun dengan Devano, walaupun dia hanya sekedar duduk di luar, itupun sudah cukup baginya. Ya, sebenarnya dia ingin masuk melihat istrinya, menenangkan istrinya, dan yang paling penting adalah meminta maaf dengan maaf yang sebenar-benarnya.

"Va," panggil Tifa.

"Iya."

"Alhamdulillah ya Allah," batin Tifa menjerit setelah berminggu-minggu dia berusaha mengajak Deva bicara, akhirnya Deva mau membuka suara.

Ini adalah kemajuan yang Masya Allah luar biasa dan seminggu terakhir ini Deva tidak lagi menangis saat melihat perutnnya yang rata. Tidak lagi bertanya keberadaan Dafa.

"Deva. Hiks ... ." Tifa memeluk tubuh Deva. "Kamu harus cepet sembuh, banyak orang yang sayang sama kamu." Tifa melepaskan pelukannya. "Aku ke luar dulu ya, Va."

Deva hanya tersenyum.

"Umi, Deva udah mau ngomong dan gak nangis lagi."

Widya menutup mulutnya karena tidak percaya sampai akhirnya dia bersyukur.

Devano yang mendengar itu tak hentinya juga mengucap bersyukur.

Jangan lupa bersyukur hari ini😉.
Jangan lupa baca Al-Qur'an hari ini ya❤.

DEVANO 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang