Disa menatap danau Universitas Indonesia dengan rasa bersalah. Dia merasa tidak akan pantas menjadi mahasiswi di kampus ini. Matanya terus memandangi megahnya kampus Universitas Indonesia. Kampus yang menjadi impiannya sejak lama. Disa ingin berjuang lebih kuat daripada siswa-siswi lainnya di sekolah agar Disa bisa diterima di universitas yang menurutnya terbaik ini.
Tapi, mimpi itu seketika goncang. Ketika gadis itu menatap kertas ulangan Fisika yang dia terima di sekolah tadi. Hatinya perih. Rasanya dia ingin memutar ulang waktu agar bisa kembali mengulang ujian Fisika beberapa hari yang lalu itu. Agar Disa bisa mengerjakan dengan prima. Agar Disa bisa memperoleh nilai sempurna.
Dia memegang kertas ulangan Fisikanya dengan mata basah. Hatinya perih mengingat perjuangannya ketika mempelajari Sigma Torsi di tempat les mati-matian. Bagaimana saat dia mengingat seluruh rumus tersebut, mencoba mengerjakan soal-soal latihan dengan tepat dan cermat. Sementara nilai yang didapatnya tidak sebanding dengan usaha kerasnya. Kini, Disa mulai menangis sesenggukan.
Air mata yang tergenang sejak tadi di pelupuk matanya langsung mengalir deras menuju pipinya. Dengan dada yang terasa masih perih, Disa menatap ponselnya. Tidak ada balasan pesan apapun dari cowok yang sejak tadi dia tunggu.
Matahari mulai menyembunyikan sinarnya. Pada pukul setengah lima sore, Disa masih menghayati kesedihannya. Bahkan, dia lupa bahwa chat pada cowok yang dia tunggu itu hanya dibaca tanpa ada respons apapun.
Ketika sibuk menangis, ada tangan yang menepuk bahu Disa. Cowok yang Disa tunggu pun datang. Cowok itu datang dengan pelipis memar dan hidung yang disumpal tisu. Tisu tersebut sudah penuh dengan darah kering.
"Lho, Vin?" Disa bingung menatap Kevin, "Lo berantem sama siapa lagi? Ini, kok, bengkak-bengkak semuanya?"
Disa panik menatap cowok di sampingnya. Gadis itu langsung mengambil kotak P3K kecil yang ada di dalam tasnya. Dengan Rivanol dan kapas, Disa langsung menepuk lembut memar di pelipis Kevin. Kevin hanya terdiam ketika sahabatnya berusaha mengobati luka di pelipisnya.
"Udah. Nggak kenapa-napa juga lagian." Kevin menepis tangan Disa, "Nggak sakit. Nggak usah lebay."
"Ini tapi bengkak, Vin." Disa tidak peduli pada penolakan cowok di sampingnya, "Lo kapan, sih, berhenti berantem sama anak geng di sekolah lain? Kurang kerjaan banget."
Kevin sangat paham rasa khawatir sahabatnya. Akhirnya, cowok itu membiarkan Disa mengobati luka memar di wajahnya. Setelah mengoleskan Rivanol, Disa langsung memakaikan perban di luka memar Kevin.
Kevin memegangi perban tersebut dengan bingung, "Ini apaan, nih?"
"Itu diperban luka memarnya. Biar dingin lukanya. Nggak memar lagi." Disa menjelaskan.
"Nggak usah diginiin juga kali." Kevin memohon, "Lagian, mana ada ketua geng sekolah yang pake perban kayak gini."
"Bawel banget, sih!"
Kevin bingung, "Lo kenapa marah-marah, sih? Ini bukan tanggal lo dapet, kan? Lagian, gue nggak bego-bego amat soal siklus menstruasi, lho. Gue gini-gini tau dan ngerti pelajaran Biologi. Siklus menstruasi itu sebulan sekali. Lo udah dapet minggu kemarin. Pas lo minta tolong beliin gue softex. Karena lo lupa bawa."
"Berisik!" Disa bete karena mengingat kebodohannya yang lupa membawa softex minggu lalu, "Ngerti apaan? Ngerti pelajaran Biologi? Orang lo tukang bolos!"
"Iyalah. Gue mau masuk jurusan IPA juga supaya bisa lindungin lo." jelas Kevin, "Nggak ada orang yang boleh nyakitin lo. Lo bersyukur harusnya dilindungin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Tiga Kata
RomanceDia sahabatku. Tapi, melihat kedekatan kami berdua, orang lain tidak ada yang percaya bahwa kami hanyalah teman biasa. Aku mungkin tidak menyimpan rasa apa-apa. Dia juga tidak menyembunyikan perasaan apapun. Namun, mengapa amarahnya memuncak, ketik...