Seusai makan batagor, Kevin berjalan ke dekat gerobak batagor untuk membayar pesanan Disa dan Kevin. Sebelum Kevin membayar, Disa langsung mengejar sahabatnya itu.
"Eh, nggak usah ditraktir," Disa mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah dan memberikan uang tersebut pada Kevin, "Nih, buat pesenan gue."
"Apaan, nih?" Kevin menepis tangan Disa, "Lo simpen aja duitnya, gue ada, kok, dua puluh rebuan."
"Ye, nggak usah ditraktir dong. Lo keseringan traktir gue. Jadi nggak enak ntar."
"Halah!" Kevin berujar dengan senyum di bibirnya, "Gue yang traktir."
Kevin dengan cepat meraih kepala Disa, sentuhan Kevin di kepala Disa membuat perasaan Disa yang tadinya berat seketika tenang. Beberapa saat, Disa memperhatikan wajah Kevin.
Disa memberi perhatian lebih pada mata coklat Kevin. Mata yang pandangannya tidak pernah berubah semenjak Disa pertama kali bertemu dengan cowok itu saat mereka masih berusia lima tahun. Juga hidung mancung Kevin, mungkin itu daya tarik pertama yang membuat banyak cewek jatuh cinta pada Kevin. Apalagi senyuman Kevin yang jarang terlihat, tapi sekalinya muncul—bisa membuat siapapun menyerah untuk tidak mengagumi keindahan wajah cowok itu.
"Emang dasarnya ganteng." tanpa sadar, Disa berucap ketika sibuk mengamati garis-garis wajah Kevin.
"Hah? Ganteng apaan?" Kevin meliak-liukan kepalanya seakan mencari seseorang, "Cowok mana yang lo bilang ganteng? Gantengan cowok itu atau gue lebih ganteng?"
"Eh?" Disa baru menyadari bahwa tadi dia tidak sengaja memuji Kevin, "Nggak, nggak ada yang ganteng, kok."
"Nggak jelas lo!" Kevin lanjut berjalan ke arah gerobak batagor, "Lo tunggu deket motor gue. Ntar gue ke sana."
Disa mengikuti instruksi dari Kevin. Dengan cepat, Disa langsung melihat jam di tangannya. Waktu sudah hampir jam lima sore. Sebentar lagi, dia harus masuk ke tempat lesnya. Disa mulai khawatir dan memperhatikan Kevin yang masih bercanda dengan tukang batagor. Disa ingin segera sampai di tempat les.
Melihat Kevin yang begitu santai, Disa langsung menghampiri Kevin dan tukang batagor, "Cepetan, kita harus sampe di Primagama sebelum jam lima sore."
"Iya, sabar." tanggap Kevin.
"Becandain apaan, sih? Ketawanya kenceng banget kayaknya." tanya Disa, "Gue juga mau denger, dong, becandaannya? Supaya gue bisa ikutan ketawa. Becandain apaan, Bang?"
"Biasa, Neng." ucap tukang batagor mulai menjelaskan, "Emang, Neng mau denger? Nanti ngamuk?"
"Apaan, Bang?" Disa siap mendengarkan.
"Gini, saya nanya ke si Kepin."
Kevin membenarkan, "Kevin, Bang, bukan Kepin."
"Da, biasa atuh. Orang Sunda mana bisa ngomong huruf F. Jelas langsung diganti jadi huruf huruf P." canda tukang batagor.
"Hahaha!" Disa tertawa, "Jujur banget, sih, Bang. Jadi, tadi bercanda soal apaan?"
"Nggak, Neng. Tadi saya nanya, kapan si Kepin jadian sama Neng Disa. Masa jalan-jalan doang, makan-makan doang, jadian kagak?"
Kevin tertawa keras. Tapi, tidak dengan Disa. Disa tidak menemukan letak humor dan kelucuan di antara pertanyaan dari tukang batagor tersebut. Wajah Disa tidak menunjukan tawa sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Tiga Kata
RomanceDia sahabatku. Tapi, melihat kedekatan kami berdua, orang lain tidak ada yang percaya bahwa kami hanyalah teman biasa. Aku mungkin tidak menyimpan rasa apa-apa. Dia juga tidak menyembunyikan perasaan apapun. Namun, mengapa amarahnya memuncak, ketik...