"Kak Kian?" tanya Abel dengan wajah polos, "Kenapa batuk-batuk, Kak? Minum air putih coba, Kak?"
Kian mendengar kalimat polos dari bibir Abel, Kian langsung tertawa. Berbeda dengan Disa yang ingin tetap terlihat biasa saja dan dengan usaha keras menyembunyikan rasa salah tingkahnya.
Disa langsung menepuk bahu Kian untuk berhenti tertawa, kemudian gadis itu berucap, "Nggak. Dia bukan pacarnya Kak Disa."
Kian lantas nyerocos sambil menatap Abel dengan jahil, "Otw, Dek. Otw jadi pacarnya Kak Disa."
Abel tersenyum jahil menatap Disa, "Ciye, Kak Disa. Kalau ada Kak Kian terus, kita bisa makan enak terus. Kak Kian jangan bosen-bosen ngajarin PR kita, ya, Kak."
"Siap, Dek!" ucap Kian mantap.
Disa tersipu ketika Kian berucap bahwa Disa adalah calon pacar Kian. Rasanya kata itu seperti menenangkan hati Disa yang sudah keruh sejak tadi pagi. Kian memang selalu tahu cara membuat Disa merasa damai. Entah mengapa, kehadiran Kian selalu membawa energi postif dalam hari-hari Disa.
Mereka memulai les dan Disa sebagai pengajar utama. Ketika masuk bagian konsul PR, Disa dan Kian membagi tugas. Kehadiran Kian tentu sangat membantu Disa karena beban mengajarnya jauh lebih ringan. Sesekali, Disa menatap Kian yang antusias mengajar anak-anak di tempat les . Kian nampak mencintai anak-anak dan kehangatan yang Kian tunjukan membuat Disa merasa senang.
Saat les selesai, Kian membantu Disa untuk merapikan meja-meja kecil. Saat sedang merapikan meja, Kian bertanya pada Disa, "Tadi lo kenapa nggak pulang bareng gue dari sekolah lo? Lo tadi sekolah, kan?"
"Tadi gue masuk sekolah, kok. Lo emang tadi jemput gue? Gue nggak tau karena gue buru-buru pulang. Buat nyiapin materi untuk anak-anak." jawab Disa mencoba menyembunyikan fakta yang sebenarnya.
"Oh. Gue pikir, lo emang nggak masuk sekolah." Kian memperhatikan wajah Disa, "Muka lo kok pucat banget? Lo udah makan? Atau bedak lo ketebelan kali, ya?"
"Udah makan. Biasalah. Kecapekan dan butuh istirahat aja." Disa mencoba untuk menenangkan rasa khawatir Kian yang sepertinya sudah nampak dari ucapan Kian, "Lo mau gue bikinin teh hangat dulu nggak sebelum lo pulang?"
"Nggak usah. Mending lo langsung istirahat aja." Kian berucap penuh pengertian, "Pasti tenaga lo lumayan terkuras ngajarin anak-anak tadi."
"Makasih, Kian. Udah bikin suasana tempat les gue makin hangat." Disa tersenyum, "Makasih juga buat makanannya. Anak-anak di tempat les gue seneng banget lo ada di sini."
"Seneng sama makanannya kali, ya, bukan sama guenya? Haha!"
"Nah! Bisa jadi!" Disa terkekeh.
"Yaudah. Gue pamit, ya, Dis. Nyokap lo mana? Supaya gue pamit ke beliau."
"Nyokap gue belum balik. Mungkin masih di jalan pulang."
"Oh, gitu. Kalau gitu, gue titip salam aja, ya, ke nyokap lo. Makasih udah dibolehin main ke rumah lo."
Kian berjalan ke pintu ruang tamu. Sejak tadi saat mengajar, Kian kadang memperhatikan banyak foto yang ada di ruang tamu. Dan, Kian merasa heran karena tidak menemukan foto ayah Disa dalam foto manapun. Rata-rata, foto Disa selalu bersama dengan Mamanya, tidak ada foto ayah Disa di sana.
Awalnya, Kian ingin menanyakan hal tersebut pada Disa. Tapi, Kian takut jika pertanyaannya bisa membuat Disa tersinggung. Jadi, Kian menyimpan pertanyaan itu hanya dalam hatinya.
Disa mengantarkan Kian sampai ke depan pagar rumahnya. Kian mengeluarkan sepeda motornya dari garasi rumah Disa. Ketika Kian menarik sepeda motornya hingga ke pagar depan rumah Disa, Disa merasakan ada firasat tak enak dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Tiga Kata
RomanceDia sahabatku. Tapi, melihat kedekatan kami berdua, orang lain tidak ada yang percaya bahwa kami hanyalah teman biasa. Aku mungkin tidak menyimpan rasa apa-apa. Dia juga tidak menyembunyikan perasaan apapun. Namun, mengapa amarahnya memuncak, ketik...