Setelah Kevin meninggalkan Disa, gadis itu cepat-cepat meneguk teh hangat yang diberikan oleh suster di samping tempat tidurnya. Disa meneguk teh beserta dengan air putih yang sudah disediakan. Lidah Disa memang masih terasa tak enak. Tubuhnya masih terlalu lesu dan lemah untuk kembali berjalan.
Sekitar tiga puluh menit Kevin bener-benar meninggalkan Disa di ruangan UGD. Disa memilih untuk bersandar sejenak di tempat tidurnya. Disa menunggu kesadarannya benar-benar pulih agar dia bisa melanjutkan perjalanannya ke rumah.
Sebenarnya, Disa ingin menelepon Kian, tapi Kian tentu masih berada di sekolah. Jadi, Disa memutuskan untuk melanjutkan istirahat di rumah agar kesehatannya segera membaik. Gadis itu juga tidak sabar untuk segera mandi karena rambutnya sudah benar-benar lepek, bajunya sudah sangat berantakan, dan seragamnya sudah kotor karena bercampur dengan debu di gudang sekolah.
Setelah merasa badannya cukup baik, Disa memeriksa obat-obat yang dokter berikan. Disa segera memasukan obat-obatan tersebut ke dalam tasnya. Karena Disa punya rasa ingin tahu yang tinggi, bahkan gadis itu pergi ke meja dokter UGD untuk menanyakan kandungan obat yang dia minum. Dia juga menanyakan hal apa yang harus dilakukan jika Disa kembali merasa lemas.
Dokter menyarankan agar setelah pulang dari rumah sakit, lebih baik Disa langsung makan, kemudian meminum obat. Dokter juga menyarankan agar Disa tidak melakukan aktivitas berat yang melelahkan. Disa mengangguk paham dan kemudian meninggalkan UGD rumah sakit.
Di lobi rumah sakit, taksi online yang Disa pesan sudah datang. Gadis itu langsung menaiki mobil Avanza hitam menuju rumahnya. Sejak memesan taksi online menggunakan HP-nya, Disa belum mengecek chat di Whatsapp sama sekali. Ketika sudah duduk di taksi, Disa baru menyempatkan waktu untuk mengecek isi chatnya.
Ternyata sudah ada ratusan chat dan ratusan panggilan telepon dari Mama di Whatsapp. Tak ingin Mamanya semakin khawatir, Disa langsung menelepon Mama. Saat menunggu panggilan tersambung, Disa menyusun beberapa kalimat untuk menenangkan Mamanya.
Ketika Mama menjawab telepon Disa, Mama berucap gelisah, "Tadi, sekolah kamu telepon, kata mereka...."
"Iya, Disa pingsan, Ma." ucap Disa lebih dulu menenangkan Mama, "Nggak apa-apa. Cuma kecapekan aja. Paling juga sembuh. Tadi aku dibawa ke UGD juga, sama ambulans, dan udah dikasih obat juga. Ini udah dijalan pulang."
"Syukurlah kalau gitu. Ini Mama udah mau pulang dari kantor, ya. Tadinya, Mama mau langsung ke rumah sakit." suara Mama terdengar bergetar, namun terdengar ada nada kelegaan di sana.
Disa masih terus menunjukan sikap tenang, karena jika Disa ikutan gelagapan saat menelepon Mama tentu Mama akan semakin panik. Gadis itu kenal betul Mamanya, Mama hampir sama dengan Kevin. Jika tahu Disa kenapa-napa, Mama adalah orang yang paling tidak tenang. Ya. Persis seperti Kevin.
"Kok jam segini udah pulang, Ma?" tanya Disa bingung, "Nggak apa-apa. Disa baik-baik aja, kok. Nanti Disa bisa masak di rumah kalau pengen makan. Atau pesen makanan juga bisa. Badan aku udah baikan, Ma. Tinggal istirahat di rumah aja. Mending Mama lanjut kerjaan aja. Kalau Mama pulang cepet, pekerjaan hari ini tertunda, besoknya malah numpak kerjaan Mama."
"Kamu beneran nggak apa-apa?" tutur Mama memastikan, "Tadi siapa yang nemenin kamu di rumah sakit?"
"Kevin, Ma." jawab Disa pendek.
"Oh. Yaudah Mama telepon Kevin sekarang supaya dia nemenin kamu di rumah, ya." ucap Mama dengan cepat
Mama berucap dengan mudah karena tidak mengetahui apa yang selama ini terjadi dalam persahabatan antara Disa dan Kevin, Disa kembali bersuara, "Nggak usah ditelepon Kevinnya, Ma.
"Haduh. Syukurlah ada Kevin. Coba kalau nggak ada dia, mungkin kamu masih pingsan dan nggak dirawat dengan baik di UKS sekolah." kata Mama menghela napas lega, "Tumben! Emangnya kenapa Mama nggak boleh telepon Kevin?"
Ucapan Mama seketika membuat Disa merasa menyesal karena tadi sudah membentak Kevin di rumah sakit. Disa baru menyadari sikapnya pada Kevin tadi sungguh sangat kelewatan. Harusnya, Disa lebih dulu berterima kasih pada Kevin. Karena emosinya pun sudah memuncak, didukung dengan kepalanya yang masih pening, membuat Disa jadi bersikap tidak baik pada Kevin.
Lalu, Disa menanggapi Mama, dia menyusun kebohongan sempurna agar tidak lagi merepotkan Kevin, "Tadi, Kevin udah aku suruh balik ke sekolah, Ma. Kasian kalau sampe dia ketinggalan pelajaran. Jangan sampe Kevin ketinggalan materi pelajaran karena dia nungguin aku di rumah sakit, makanya aku minta dia balik."
"Oh, iya. Bener juga, Nak. Yaudah, Mama aja yang pulang, ya. Kamu tunggu di rumah aja."
"Nggak apa-apa, Ma." Disa masih tak ingin merepotkan, "Disa bisa sendiri. Mama lanjut kerja aja. Take care, ya, Ma. Semangat kerjanya."
Tak ingin berdebat lebih jauh pada Mama, Disa memutuskan untuk mengakhiri panggilan telepon. Puluhan menit setelahnya, gadis itu sudah sampai di rumahnya. Ketika sudah sampai di rumah, Disa langsung mandi dengan air hangat, makan, kemudian minum obat. Gadis itu sesekali mematut dirinya di depan cermin. Dia memegangi pipinya yang agak bengkak bekas tamparan Danilla.
Disa memutuskan untuk mengambil es batu di kulkas dan mengompres memar di pipinya dengan es batu. Disa berharap kondisi wajahnya tidak terlihat benar-benar memar, karena jika Kian melihat, Kian tentu akan bertanya dengan ribuan pertanyaan. Disa tahu, jika nanti Kian ke rumah untuk membantu Disa mengajar les, tentu Kian akan menanyakan mengapa Disa tidak pulang bersama Kian. Nah, Disa pun harus mencari jawaban atas pertanyaan Kian ini. Dia harus menyusun alasan lain agar Kian tidak terlalu khawatir.
Sebelum les dimulai, Disa merebahkan tubuhnya sejenak di tempat tidur dan membiarkan lelah di tubuhnya merasakan istirahat yang cukup. Semakin dekat waktu les, Disa menata meja-meja kecil untuk anak muridnya belajar. Beberapa dari mereka sudah datang diantar oleh orangtuanya. Sebelum les dimulai, Disa berbincang beberapa saat bersama anak muridnya, dan menanyakan materi apa yang paling sulit selama seminggu terakhir.
Tak berapa lama, Kian datang membawa makanan ringan beserta susu UHT berperisa coklat dan strawberry. Kedatangan Kian membuat para murid tadi menatap dengan tatapan bingung. Namun, wajah para murid langsung sumringah ketika Kian membuka makanan ringan tersebut dan mempersilakan yang lain untuk makan.
Tapi, Disa langsung memperingati, "Oh, iya, ini namanya Kak Kian. Nanti Kak Kian bantu kalian untuk sama-sama mengerjakan PR-nya. Tapi, makannya nanti dulu, ya. Kalau udah selesai belajarnya. Makanya, semuanya harus pinter ngerjain soalnya, cepet dan tepat menyelesaikan soalnya supaya bisa segera makan makanan yang dibawa Kak Kian."
"Kak Disa, Kak Kian ini pacarnya, ya, Kak?" tanya Abel, salah satu siswi paling imut di tempat les Disa, "Bawa makanannya banyak banget, Kak. Ini bisa buat banyak orang banget. Kita, kan, cuma 10 orang."
Ucapan Abel sontak membuat Disa langsung tersipu malu. Sama dengan Kian yang tiba-tiba langsung salah tingkah. Kian terbatuk-batuk padahal tenggorokannya tidak gatal. Mereka berdua sama-sama mati langkah ketika mendengar pertanyaan Abel yang tidak disangka.
Disa jadi benar-benar salah tingkah. Tak beda jauh dengan Kian.
***
- Kian kenapa, sih, segala gemesin gini. Kalau Kian gemesin gini, kamu yang ada di TIM KEVIN yakin nggak mau pindah ke TIM KIAN? :D Lanjutannya. Tunggu episode berikutnya.
- Buat yang udah baca. Langsung VOTE, KOMEN, dan SHARE, ya. VOTE KOMEN SHARE itu gratis loh dan bisa dukung penulis favorit kamu supaya makin semangat nulisnya!
- Mau follow aku di Instagram, bisa banget akun Instagram aku: DWITASARIDWITA
- Kamu TIM KEVIN atau TIM KIAN? Kamu mau ngobrol sama pengagum #HanyaTigaKata dan gabung di grup Whatsapp-nya? Langsung daftar dengan cara WA ke: 0822-610-22-388
***
OST #HanyaTigaKata berjudul SEBATAS TEMAN, sudah bisa kamu dengarkan GRATIS di APLIKASI SPOTIFY, JOOX, GOOGLE PLAY, DEEZER, dan ITUNES. Cara dengernnya gimana? Buka salah satu aplikasi yang aku sebutkan jadi, tinggal search: SEBATAS TEMAN DWITASARI.
Selamat mendengarkan dan membasuh air mata :')
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Tiga Kata
RomanceDia sahabatku. Tapi, melihat kedekatan kami berdua, orang lain tidak ada yang percaya bahwa kami hanyalah teman biasa. Aku mungkin tidak menyimpan rasa apa-apa. Dia juga tidak menyembunyikan perasaan apapun. Namun, mengapa amarahnya memuncak, ketik...