Disa bangun pagi dengan perasaan yang masih aneh di dadanya. Sudah puluhan jam semenjak dia memutuskan untuk mengakhiri persahabatannya dengan Kevin. Rasanya ada yang aneh dan hampa dalam dadanya. Mungkinkah ini keputusan terbaik yang bisa dia ambil? Mungkinkah mengakhiri segalanya adalah pilihan yang benar untuk mereka berdua?
Disa keluar dari selimutnya, kemudian merapikan tempat tidurnya. Sesekali, Disa mengintip dari jendela kamarnya. Cuaca lumayan cerah, tapi dia tidak dapat membohongi bahwa hatinya terasa begitu mendung. Dalam hati, Disa berharap setelah mengakhiri persahabatannya dengan Kevin, maka dia tidak perlu terlibat jauh dengan urusan dan masalah yang selalu Kevin buat. Masalah yang Kevin buat selalu saja macam-macam dan setiap Kevin terjerumus ke dalam masalah, selalu saja sosok Disa ikut terseret ke dalam masalah tersebut.
Seusai mengintip matahari yang mulai menunjukan kehangatannya dari balik jendela, Disa berjalan menuju meja belajarnya. Seperti biasa, setiap melewati meja belajar itu, Disa menatap deretan foto bersama dirinya dan Kevin. Kevin yang selalu menemani Disa dalam momen penting apapun. Kevin yang selalu meninggalkan medan pertempuran tawuran, demi menghibur Disa. Kevin yang dengan sekuat tenaga selalu membuat Disa tersenyum. Tapi, di balik itu semua, Kevin juga yang kerap membuat hati Disa perih dan berdarah.
Laki-laki mungkin diciptakan untuk punya logika, tapi kadang dia tidak menggunakan hati untuk memahami apa yang terjadi. Disa berharap Kevin mengerti, tanpa Disa harus mengungkapkan segalanya. Tapi, harapan itu pun salah, karena Kevin tidak akan mungkin memahami apapun. Mata Kevin sudah terlalu buta untuk mengerti semua yang terjadi. Bahkan, Kevin tidak mengejar Disa, ketika Disa memutuskan untuk mengakhiri persahabatan mereka.
Bagi Disa, Kevin nampak baik-baik saja dan tidak merasa hancur sejadi-jadinya; seperti yang Disa alami pagi ini. Keliatannya Kevin tidak merasakan perih yang Disa rasakan. Dalam anggapan Disa, hidup Kevin akan tetap berjalan biasa saja bahkan tanpa kehadiran Disa.
Disa langsung mengambil setiap foto bersama dirinya dan Kevin yang ada di dekat meja belajar. Disa mengambil foto-foto itu, kemudian memindahkan foto tersebut ke dalam lemari. Disa berharap, dengan cara seperti ini, dia tidak perlu memikirkan Kevin terlalu jauh.
Ketika Disa bersiap untuk mandi, ponsel Disa berdering. Disa melihat layar ponselnya, dan bodohnya dia masih berharap bahwa sosok itu adalah Kevin. Walaupun jelas, bukan Kevin yang meneleponnya, tapi....
"Pagi, Dis." suara Kian dari ujung telepon, "Udah bangun?"
"Udah, dong. Ini mau siap-siap mandi." ucap Disa, "Kenapa, Kian?"
"Yah!" Kian memelas, "Berarti gue kepagian, dong, nyampe rumah lo? Gue udah di depan, nih."
Disa langsung mengintip ke luar jendela kamarnya, Kian memang sudah di sana, di atas sepeda motornya, "Lah, lo ngapain pagi-pagi ke rumah gue? Mau jualan bubur ayam, ya?"
"Ya, kagak!" Kian menegaskan, "Mau jemput lo kali. Supaya kita ke sekolah bareng. Sekolah kita, kan, satu arah."
"Ye. Nggak usah. Nanti gue repotin. Kalau nungguin gue, bisa telat lo." Disa memohon, "Duluan aja, Kian. Gue nggak enak ngerepotin lo terus."
"Nggak apa-apa. Gue tungguin. Lo cepetan mandi makanya" ucap Kian.
"Oke, Kian!" Disa memutus sambungan telepon.
Detik berikutnya, Disa segera mandi dan membersihkan tubuhnya. Selesai mandi, Disa mengenakan seragam dan menyiapkan peralatan untuk ke sekolah. Setelah semuanya beres, Disa keluar dari kamar dan menuruni tangga dari kamar menuju lantai bawah rumahnya.
Di lantai bawah, Disa tercengang melihat pecahan piring dan bekas lemparan barang pecah belah. Melihat itu semua di lantai bawah rumahnya, Disa langsung menghela napas. Dalam batinnya mengeluh, "Baru aja dibersihin. Udah kotor lagi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Tiga Kata
RomanceDia sahabatku. Tapi, melihat kedekatan kami berdua, orang lain tidak ada yang percaya bahwa kami hanyalah teman biasa. Aku mungkin tidak menyimpan rasa apa-apa. Dia juga tidak menyembunyikan perasaan apapun. Namun, mengapa amarahnya memuncak, ketik...