BAB 19 - Segalanya Terasa Hampa

9.9K 1.3K 154
                                    

Setelah membanting pintu rumahnya, Disa langsung berjalan menuju pagar depan rumah. Cepat-cepat gadis itu berjalan keluar dari rumah, dan Kian yang sejak tadi sudah menunggu Disa.

Seperti biasa, entah mengapa, saat melihat Disa di depannya, Kian otomatis langsung tersenyum. Cowok itu langsung menyambut Disa dengan senyuman khas Kian. Senyuman yang dihiasi dua lesung pipit di pipinya.

Ketika sudah berada di depan pagar rumah Disa, Disa langsung menghampiri sepeda motor Kian. Kian langsung memberikan helm untuk Disa gunakan, tanpa banyak berucap, Disa langsung mengenakan helm.

Ketika mereka berdua sama-sama sudah siap meninggalkan rumah Disa, Kian langsung bertanya, "Tadi lo yang banting pintu rumah?"

Disa bahkan tak menyadari bahwa dia tadi membanting pintu. Emosi di hatinya terlalu memuncak hingga dia tidak sadar telah bereaksi dengan membanting pintu.

Disa memikirkan kebohongan apa yang bisa dia susun untuk menjawab pertanyaan Kian, "Iya. Kebanting kayaknya. Nggak sengaja."

"Oh..." kata Kian, "Kirain lo ada masalah apa sampe harus banting pintu segala. Nggak ada masalah apa-apa, kan?"

Disa berucap pelan, "Nggak, kok. Tenang aja. Yuk, kita jalan."

Dalam bibirnya, Disa mengucapkan kebohongan. Belum waktunya Kian mengetahui bagaimana retaknya kondisi keluarga Disa. Sejauh ini, sahabat yang memahami keadaan keluarga Disa baru Kevin seorang. Disa merasa belum pantas untuk membuka diri pada sosok Kian, apalagi mereka baru saja kenal.

Dalam perjalanan menuju sekolah, Disa memperhatikan anak-anak perempuan yang menggunakan seragam putih abu-abu. Mereka semua diantar ayahnya. Rasa-rasanya, Disa tidak pernah merasakan indahnya berangkat ke sekolah diantarkan oleh seorang ayah. Disa merasakan kondisinya sungguh jauh berbeda dengan anak-anak seusianya. Di umur yang harusnya masih dapat belaian kasih sayang seorang ayah, justru Disa merasakan sebaliknya.

Melihat pemandangan anak perempuan yang diantar bersama ayah-ayah mereka, Disa jadi merasa terenyuh. Terutama ketika mengingat kembali apa yang Papanya katakan beberapa saat lalu.

Rasanya, hatinya hancur. Dia ingin menangis saat itu juga, dan kalau boleh; dia juga sangat ingin membentak papanya. Tapi, apa daya, Disa tidak ingin berlaku tidak sopan. Biar bagaimanapun, Papa adalah ayah kandungnya sendiri, ayah yang sama sekali tak boleh dibenci oleh Disa, meskipun Papa sendiri juga sangat membenci Disa.

Sambil mengingat ucapan menyakitkan dan ucapan kasar ayahnya tadi, tak terasa Disa mengalirkan air mata dari pelupuk matanya. Untuk mencari kekuatan yang bisa meredam tangisnya, Disa langsung memeluk Kian dari belakang. Setidaknya, dalam pelukan bersama dengan Kian, Disa merasakan sedikit penguatan.

Sejak awal mengantar Disa dari rumah, Kian sudah merasakan keanehan dalam diri Disa. Gadis itu sejak dari rumah tidak menunjukan senyum apapun, bahkan saat Kian tersenyum pada Disa, entah mengapa Disa tidak membalas senyuman itu.

Mungkin, terjadi sesuatu pada perasaan Disa. Entah apa yang terjadi pada Disa, setidaknya Kian tidak akan memaksa Disa untuk bicara dan bercerita. Kian memilih agar Disa siap untuk bercerita, sehingga tidak ada unsur paksaan ketika Disa nanti bercerita pada Kian.

Pelukan Disa semakin erat. Hal itu semakin membuat perasaan Kian tak enak. Ketika berada di lampu merah, Kian mengarahkan kaca spionnya ke arah belakang jok sepeda motornya. Cowok itu berharap bisa melihat wajah Disa, tapi ternyata Kian tak bisa melihat wajah Disa. Gadis itu memalingkan wajahnya. Dengan posisi duduk Disa, Kian tentu tak dapat melihat wajah Disa dengan jelas.

Sesampainya di sekolah Disa, Disa langsung turun memberikan helm. Kian mengambil helm kemudian menatap Disa sesaat.

"Are you okay?" tanya Kian memastikan, "Sepanjang perjalanan tadi lo terus meluk gue? Pilihannya ada dua, sih. Pilihan pertama, lo takut jatoh. Pilihan kedua, lo kangen sama gue. Hehe."

Hanya Tiga KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang