Melihat mobil papanya ada di depan rumah membuat Disa sebenarnya tidak ingin masuk rumahnya. Kevin yang duduk di kemudi sepeda motor pun menahan Disa untuk masuk rumah. Tapi, ada yang mendorong hatinya. Ada perasaan tak enak bercokol di dadanya.
"Thanks, ya, Vin, udah anterin sampe depan rumah." Disa tersenyum kepada sahabatnya.
Gadis itu turun dari sepeda motor dengan perasaan yang mulai berantakan. Di depan Kevin, dia berusaha tersenyum. Karena dia tidak ingin membuat sahabatnya itu khawatir. Apalagi, rasa khawatir Kevin selalu memuncak setiap kali melihat Disa patah dan rapuh. Kerapuhan itu selalu disebabkan setiap kali Disa melihat mobil papanya terparkir di depan rumah.
Disa bisa menebak, apa yang terjadi di dalam kamar orangtuanya. Pertengkaran hebat segera dimulai. Perdebatan panjang segera terjadi.
"Dis, itu bokap lo..." Kevin berucap.
"Iya, tau, kok." Disa berusaha tersenyum, "Biasa. Paling gue nangis doang."
"Jangan nangis, dong. Gue paling nggak bisa liat lo nangis. Gue nggak akan ngebiarin sahabat gue sedih." jelas Kevin, "Dis, kita ke warung Mbah Gito aja, deh? Gue laper."
Dengan senyum di bibirnya, Kevin memohon sahabatnya itu untuk tidak masuk ke dalam rumah. Cowok itu tidak ingin perasaan Disa kembali terganggu karena jelas kondisi hati Disa akan berpengaruh pada semangat belajar Disa.
"Nggak usah. Besok-besok aja. Gue mau masuk. Gue capek lagian. Lo nggak liat di tempat les, mata gue udah ngantuk banget?"
Kevin masih berusaha menghalangi, cowok itu menarik tangan Disa, "Ayo, ikutan. Bawel lo ah! Lo, kan, janji mau ajarin gue Kimia. Gimana, sih? Lo lupa sama janji lo sendiri? Baru tadi siang, tuh, lo ngomongnya.
Disa berusaha mengingat kejadian tadi siang di sekolah, namun dia tidak menemukan ingatan peristiwa yang Kevin sebutkan. Disa menggeleng kuat dan tidak ingin menerima ajakan dari Kevin.
"Dasar. Ngarang aja lo. Gue nggak ada janji sama lo tadi siang."
"Lo janji!" Kevin memaksa, "Ikut gue! Cepetan!"
Disa langsung menghempaskan tangan Kevin dengan cepat, "Vin... Lo tau, ini akan rumit. Rumit banget. Karena kalau bokap gue dateng ke rumah, minimal..."
"Minimal ada lima piring yang pecah dan tiga gelas kaca yang pecah, kan?" Kevin melanjutkan.
Disa menganggukan kepala dengan wajah sedih, "Tuh, lo tau, kan. Yaudah. Gue masuk dulu."
"Dis..." panggil Kevin dengan rasa khawatir
"Udah, gue nggak apa-apa, Vin." senyum Disa mengembang sempurna, "Gue masuk dulu. Lo langsung balik ke rumah. Kerjain, tuh, PR Fisika lo. Besok pagi gue periksa. Jangan nyontek PR-nya Radit. Sampe ketauan nyontek, gue ngambek sampe dajjal naik ke bumi."
"Buset!" Kevin kaget, "Kejam banget lo, Dis."
"Yaudah. Makanya cepetan pulang. Gue mau masuk ke dalam rumah."
Kevin belum yakin ingin meninggalkan Disa, hati cowok itupun merasa tak enak, "Yakin gue tinggal?'"Disa menganggukan kepala, "Ih, yaudah sana. Cepetan."
"Yaudah." Kevin akhirnya mengalah, "Gue tau, Dis, lo cewek kuat. Makanya gue mau jadi sahabat lo."
Ucapan Kevin sedikit menguatkan Disa. Gadis itu langsung membuka pagar rumah dan melambaikan tangannya pada Kevin. Kemudian, dia berjalan dengan rasa berat ke dekat pintu. Disa pelan-pelan membuka pintu agar papa dan mamanya tidak mengetahui kehadiran Disa.
Ketika sudah memasuki ruang tamu, terdengar samar-samar teriakan dan perdebatan di dalam kamar orangtuanya. Disa mendekatkan telinganya ke dekat pintu. Suara perdebatan itu makin jelas terdengar. Bahkan, dari sela-sela pintu, Disa bisa melihat Papa dan Mamanya beradu argumen.
"Saya mau menikah lagi! Titik!" suara papa terdengar lantang, "Tidak akan sanggup saya melanjutkan pernikahan dengan kamu. Perempuan tidak becus ngurus anak! Liat anakmu, Disa itu, dia cuma diterima di SMA sampah. Bukan SMA negeri. Hanya SMA ecek-ecek. Mau jadi apa dia? Mau jadi tidak berguna kayak kamu? Hah?"
Mendengar kalimat tersebut, hati Disa makin perih. Dia tidak menyangka, papa kandungnya sendiri bisa mengucapkan kalimat tersebut. Papa yang Disa kenali saat ini bukanlah papa yang Disa kenali dulu.
Ucapan Papa langsung membuat Mama kesal, dengan nada tinggi Mama berucap, "Disa itu anakmu juga, Mas!"
"Tapi, dia itu buah pengajaran dari kamu. Harusnya kamu becus ngurus dia." lanjut Papa dengan rasa percaya diri, "Harusnya kamu pintar mengajari anakmu. Seperti Lastri, calon istriku. Anak dia kuliah di UI. Jurusan teknik sipil. Disa tidak akan mampu kuliah di sana. Paling-paling hanya mentok di universitas tidak jelas."
"Disa selalu juara kelas, Mas!" mama membela, "Itu yang luput dari pengamatan kamu. Sebagai ayah, kamu pun gagal! Bukan saya yang gagal. Kita berdua yang gagal."
"Halah!" papa membanting gelas, "Kamu yang salah. Bukan saya! Paham kamu?"
Mama masih tegak berdiri tanpa rasa takut sama sekali, "Kamu kalau mau cerai silakan, tapi jangan bawa-bawa Disa sebagai alasan kamu ingin cerai. Jangan salahin Disa dan saya yang katamu tidak becus mengurus anak. Disa tidak salah. Kamu yang salah, karena sebagai laki-laki, kamu tidak bisa mengendalikan perasaan kamu!"
"Saya memang sudah jauh-jauh hari ingin meninggalkan kamu." papa membentak.
"Silakan. Kamu mau menikah lagi silakan. Bukan urusan saya. Kalau dengan begitu kamu bahagia, silakan. Terserah. Tapi, perceraian harus dilakukan sesudah Disa ujian masuk perguruan tinggi. Saya tidak ingin anak itu terganggu pikirannya karena ikut-ikutan mikirin orangtuanya."
Papa menggeleng kuat, "Saya ingin cerai secepatnya!"
"Keras kepala!"
"Kamu yang keras kepala!" Papa membentak jauh lebih kencang, "Makanya saya bersikeras meninggalkan kamu."
"Kamu boleh meninggalkan saya, tapi Disa masih butuh sosok ayah." Mama menjelaskan. Suara Mama terdengar mulai merendah, ada air mata yang mulai menetes pelan, "Kasihan Disa, Mas."
Ucapan mama membuat dada Disa perih. Gadis itu pelan-pelan menangis dalam diam. Mama tidak seharusnya mempertahankan pernikahan jika hatinya tersiksa seperti ini. Tapi, demi Disa, Mama berusaha menahan segalaya. Hanya demi Disa. Hanya demi kebahagiaan Disa.
"Saya ingin cerai secepatnya!" papa bersikeras dengan pendiriannya, "Lagipula, anak itu tidak akan diterima di universitas terbaik seperti anaknya Lastri. Kamu tolong sadar diri."
Dengan sisa-sisa air matanya, Mama tersenyum dengan penuh kekuatan, "Disa tidak perlu ikut-ikutan anak Lastri. Dia bisa jadi dirinya sendiri, tanpa perlu ikut-ikutan anak dari Lastri. Paham kamu?"
Ucapan mama turut mendiamkan papa. Karena tidak kuat mendengar pertengkaran kedua orangtuanya, Disa langsung memutuskan naik ke lantai atas kamarnya.
Dia menangis sejadi-jadinya.
***
- Jangan lupa follow penulis #HanyaTigaKata di Wattpad dwitasaridwita
- IG/TWITTER: DWITASARIDWITA
- Pembelian novel Dwitasari dengan harga termurah bisa cek toko Shopee: DWITASARISME / WA: 0822-610-22-388
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Tiga Kata
RomansDia sahabatku. Tapi, melihat kedekatan kami berdua, orang lain tidak ada yang percaya bahwa kami hanyalah teman biasa. Aku mungkin tidak menyimpan rasa apa-apa. Dia juga tidak menyembunyikan perasaan apapun. Namun, mengapa amarahnya memuncak, ketik...