BAB 13 - Obrolan Ringan yang Menenangkan

10.7K 1.4K 407
                                    

Penolakan dari Kevin membuat Disa buru-buru mengambil tas sekolahnya dan segera pulang ke rumah. Meskipun Kevin mengajak Disa pulang bersama, tapi Disa menolak halus, dan justru meminta Kevin mengantar pacar barunya Kevin.

Kevin yang tidak peka merasa sama sekali tidak ada kejanggalan dalam sikap Disa, padahal aslinya Disa sangat dongkol menghadapi sikap Kevin. Dari kejadian ini, Disa memilih untuk tidak menggubris Kevin sama sekali. Karena, apapun yang Disa katakan, tidak pernah terasa penting bagi Kevin.

Maka, Disa memutuskan untuk diam dan berfokus pada intensif UN serta SBMPTN saja. Dia tidak mau lagi terlibat dalam permasalahan si cowok menyebalkan yang sudah sekian tahun menjadi sahabatnya itu. Baginya, sudah cukup untuk memikirkan kebandelan dan kenakalan Kevin. Ini saatnya Disa memikirkan dirinya sendiri, tanpa berusaha peduli dengan masalah yang Kevin hadapi.

Sesampainya di rumah, Disa melihat rumahnya berantakan lagi. Rumah nampak kosong dan sepertinya Mama sudah meninggalkan rumah. Jika ada bantingan piring dan benda pecah-belah yang berantakan di lantai, tentu Disa paham bahwa Papa sepertinya habis berkunjung ke rumah. Dan, Disa menyadari bahwa terjadi pertengkaran hebat, mungkin sekitar beberapa jam yang lalu sebelum Disa sampai di rumah.

Disa menghela napas berat sembari menahan rasa sesak di dadanya. Gadis itu meletakan tas sekolahnya di dekat meja makan, kemudian membersihkan pecahan piring yang berantakan di meja makan.

Ketika sedang membersihkan pecahan piring itu, Disa merasa hatinya semakin terluka hebat. Matanya sudah mulai panas dan di matanya sudah mulai tergenang air mata. Sekuat apapun Disa berusaha menahan air matanya, tetap air mata itu jatuh ke pipinya.

Sungguh. Disa berharap mimpi buruk ini segera berakhir. Seandainya Disa boleh memilih, dia berharap pertengkaran kedua orangtuanya adalah mimpi yang bisa segera selesai ketika dia bangun dari tidurnya.

Tapi, pecahan piring yang tak sengaja melukai jemarinya, darah segar yang mengalir di dekat telunjuknya terasa begitu nyata di mata Disa. Ini tentu bukan mimpi belaka. Ini kenyataan. Cepat-cepat Disa mencuci luka di telunjuknya, memberikan obat merah, kemudian memberi plester di telunjuknya.

Ketika semua pecahan piring sudah bersih, Disa duduk sebentar di bangku dekat meja makan, kemudian mengambil ponselnya. Disa menelepon Mama dengan cepat.

"Kenapa, Dis?" suara Mama nampak riang, seakan semuanya baik-baik saja, "Kamu lagi di mana?"

"Baru sampe rumah." jawab Disa dingin, "Papa tadi ke rumah?"

Mama terdiam dan tidak segera menjawab.

"Nak, udah makan belum?" Mama masih berucap dengan nada riang seakan ingin mengalihkan pembicaraan, "Nanti pulang kantor, mama beliin makanan, ya. Kamu pengen apa?"

"Ma..." ucap Disa lirih, "Kita kenapa nggak pindah aja, sih? Ngontrak atau ngekos di mana gitu, Ma? Kita udah nggak aman tinggal di sini karena Papa pasti gangguin kita terus. Dan, Papa pasti selalu berusaha bikin hidup kita nggak tenang, Ma. Karena dia selalu ngerasa ini rumahnya dia. Dibeli pakai uangnya dia. Padahal, rumah ini, kan, dibeli dari hasil keringat dan kerjaan Mama juga."

"Dis..." Mama memanggil anak semata wayangnya, "Kamu coba dengarkan Mama dulu."

"Sekali-kali. Coba Mama yang dengerin Disa." Disa makin ngotot, berharap Mama mempunyai pertimbangan serta pemikiran lain, "Papa udah ninggalin kita demi keluarga barunya dia, Ma. Ini saatnya kita buat ninggalin dia juga."

"Mau cari di mana kontrakan murah dan kosan murah di daerah Depok untuk dua orang, Dis? Yang layak huni buat kamu. Kamu harus tinggal, tidur, dan belajar di tempat yang layak." tanya Mama dengan suara pelan, "Mama berusaha berhemat supaya kamu bisa tetap sekolah, Nak. Supaya kita bisa tetap makan layak. Kamu sabar sebentar, ya. Mama berusaha keras untuk bayar uang sekolah kamu, uang les kamu, dan keperluan buku pelajaran kamu. Kamu tolong bersabar dan banyak berdoa. Kita bisa lewatin ini semua."

Hanya Tiga KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang