BAB 14 - Kalung Milik Kian

10.1K 1.3K 503
                                    

Karena ingin bertemu dengan Kian di tempat les, sekaligus konsul matematika, Disa dengan segera mandi serta mempersiapkan diri. Tak lupa, setelah mandi, Disa juga mengetik sesuatu di laptop-nya dan mencetak satu kertas selebaran pengumuman les yang akan dibuka oleh Disa.

Dalam doa dan hati, Disa berharap bahwa langkah kecil ini setidaknya bisa membantu mamanya untuk membiayai Disa. Disa pun berharap agar hasil dari les yang Disa buka ini bisa menutup uang sekolahnya. Atau mudah-mudahan menutup biaya hidupnya agar tak terlalu membebani Mama.

Ketika sedang mempersiapkan tas dan peralatan untuk konsul matematika di tempat les. Ponsel Disa nampak berkedip-kedip di bagian layar. Ada panggilan dari Kian.

"Iya. Kenapa, Kian?" Disa lantas membalas panggilan tersebut.

"Masih lama make up-nya?" Kian menggoda Disa, "Cepetan ke bawah, dong! Gue udah kangen, nih, sama lo!"

Disa tertawa, "Dih! Alay lo! Gue nggak make up, ini juga bentar lagi gue mau pesen ojol terus sampe, deh, di les. Simpen dulu kangennya elah. Jangan bucin-bucin banget lo. Malu sama umur. Udah saatnya nggak bucin sama lawan jenis, bucin, tuh, sama soal UN dan SBMPTN."

"Ye! Isi otak lo cuma belajar-belajar-dan belajar." Kian mengejek, "Sekali-kali jangan serius-serius amat jalanin hidup. Kita butuh napas sebentar dan jalan lagi. Supaya kita bisa nikmatin perjalanan. Perjalanan itu menyenangkan buat dijalanin, terutama kalau dijalani bareng orang yang tepat."

"Dih! Gue malah dinasehatin." Disa tertawa, "Oke, deh. Siap, Pak Kian Teguh! Salam super!"

"Lo pikir gue Mario Teguh, motivator apa?" Kian balas tertawa, "Yaudah cepetan."

"Sabar, Kian. Lo tutup teleponnya makanya. Supaya gue bisa buka aplikasi buat pesen ojol, nih. Kalau lo nelepon terus, gimana gue mau pesen ojolnya?"

"Nggak usah pesen ojol. Lo udah selesai, kan, siap-siapnya?" Kian bertanya, "Sekarang, lo jalan keluar. Kunci pintu. Dan, jalan ke pagar."

"Oh. Lo sekarang udah di bawah, di depan pagar rumah gue? Jemput gue?" Disa tertawa kecil, "Bawain coklat, bunga, dan boneka beruang juga nggak?"

"Yaelah, Dis. Lo ngarepnya ketinggian. Gue nggak sempet bawa begituan. Orang lo nggak minta." tanggap Kian dengan rasa sesal, "Gimana? Masih boleh jemput nggak kalau gue nggak bawa coklat, bunga, dan boneka beruang?"

"Nggak boleh!" Disa sok-sok membentak dan memutus sambungan telepon.

Padahal, Disa sudah tertawa karena menjahili Kian. Disa langsung buru-buru meninggalkan kamarnya dan keluar dari rumah. Ternyata, benar saja. Kian sudah ada di depan pagar rumah Disa, menunggu Disa dengan wajah harap-harap cemas.

"Kirain nggak mau dijemput. Hehe." ucap Kian dengan wajah khawatir, "Becandanya jangan gitu banget, dong. Gue pikir. Lo beneran nggak mau gue jemput."

Disa langsung menghampiri Kian dan memakai helm yang langsung diberikan oleh Kian, "Bercanda doang, kali."

"Eh. Kalau lo mau. Gue bisa beliin, kok. Lo minta aja. Nanti gue kasih." Kian menawarkan, "Apa tadi yang lo mau? Beruang, coklat, kan?

"Kian, gue bercanda kali." Disa menegaskan, "Btw, makasih udah jemput gue di sini, ya. Lumayan. Gue hemat nggak bayar ojol, nih. Hehe."

Tak lama, mereka sudah sampai di tempat les. Disa dan Kian sama-sama konsul Matematika. Kian jelas terpana pada kecerdasaan Disa. Daya tangkap Disa jauh lebih cepat daripada daya tangkap Kian. Ketika Disa sedang mengerjakan soal matematika, Kian sesekali menatap gadis itu dengan rasa kagum.

Selain senyumnya menyenangkan untuk ditatap, Disa juga baik dalam mengajarkan apapun. Ketika mengerjakan soal, Kian kadang mencuri-curi kesempatan untuk bertanya pada Disa, agar mereka sama-sama bisa menjalin obrolan.

Hanya Tiga KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang