Duapuluh Empat

2.8K 399 34
                                    

Entah bagaimana, dan apa yang mendasari seorang perempuan kini masih duduk bersebelahan dengan lelaki yang dibencinya, di malam hari ini. Dan ini sudah menjadi hari kedua dirinya berada disini dengan anaknya.

Rose hanya menunduk, memandang jemari tangannya yang sibuk menggaruk kukunya sendiri. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan dengan lelaki di sebelahnya ini, suasana canggung kembali menerpa dan terasa tanpa ada lyn diantara mereka.

"Jun.." panggil rose dengan suara kecil dan hampir terbata. Namun june masih bisa mendengarnya, dan menoleh ke sebelah kirinya dimana ada rose.

"Gue pamit pulang, makasih udah jagain lyn" ucap rose seraya beranjak dari duduknya.

June mencekal tangan rose dengan cepat, dan kini ia sadar ia telah lancang memegang rose. June perlahan menurunkan tangannya, dan menatap rose yang juga menatapnya seolah meminta penjelasan.

"Udah malem, lyn masih tidur, kasian kalau harus dibangunin. Belom lagi kan bahaya kalau lu pulang sendiri" jelas june.

Rose mengangguk, tapi setelahnya ia berpikir, kalau memang begitu apa june tidak punya niatan mengantarnya dan lyn pulang? Secara kan june memiliki mobil.

"Kalau gitu gue bisa telefon jeffry buat jemput" kata rose.

June berdecak sebal. "Jangan pulang. Karena mulai sekarang tempat ini jadi punya lu sama lyn"

Rose terlihat heran. "Punya gue sama lyn? Ini punya lu june"

"Punya lu sama lyn. Anggep aja ini sebagai awal bukti kalau gue serius sama lu"

"Tapi kan --"

"Jangan balik lagi ke tempat lama lu" potong june. "Gue tau lu emang berniat pergi dari gue, tapi gue engga bakal biarin hal itu terjadi. Gue juga tau dari jihan, kalau udah ada calon penghuni baru yang minat tinggal di tempat lama lu. Lu bisa tinggal disini" jelas june.

"Gue engga bisa"

"Kenapa? Karena lu masih benci sama gue? Lu boleh benci gue semau yang lu bisa. Tapi jangan sama lyn. Biarin lyn tau rasanya punya ayah, walaupun dia engga tau kalau sebenarnya gue ayahnya dia. Gue juga engga bisa ngeliat lu, sama anak gue, tinggal di tempat yang seperti itu" ucap june.

Rose dengan susah meneguk ludahnya. Memang jika dipikir tempat kontrakannya tidak seberapa bagus dengan rumah orangtuanya dulu, dan juga tidak sebagus rumah june. Rose memang berasa bersalah karena hal itu, tapi setidaknya ia mempunyai tempat untuk berlindung.

Tangan june terulur untuk meraih pundak rose, dan membawa tubuh rose untuk dipeluk. Karena june sekarang bisa melihat satu titik air mata mengalir dari rose.

Dan june harus merasa senang karena rose kini menerima pelukannya. Rose tidak lagi mendorong dan menolak june, malah sekarang perempuan itu kini memeluk balik june, menenggelamkan wajahnya dibalik dada bidang june sambil menangis. Rose merasa buruk akan dirinya sendiri.

"Maafin gue, jangan nangis lagi. Percaya atau engga, hati gue juga sakit ngeliat lu nangis" ucap june sambil menepuk pelan pundak rose seraya menenangkannya.

Perlahan june membawa dirinya dan rose untuk duduk kembali di sofa. Mungkin sekitar 3 atau 4 menit, rose baru berhasil mengendalikan emosinya. Ia menatap june, menatap mata lelaki itu yang tengah menatapnya dalam.

Rose bisa merasakan desiran aneh di dirinya begitu ia merasakan usapan tangan june untuk menghapus air matanya. Rose kini dapat melihat june yang semakin mendekatkan wajahnya. Entahlah, rose tidak marah atau menolak.

Tapi yang dilakukan june hanyalah menatap bibir rose ketika tinggal sedikit lagi bibir mereka bersentuhan. June berdehem canggung untuk menghilangkan segala pikiran aneh di otaknya. Perlahan ia menjauhkan wajahnya, tangannya pun kini meninggalkan pipi rose.

"Kenapa?" tanya rose.

"H, hah?" tanya june balik dengan bingung.

Terlalu lama bagi june untuk memahami, hingga akhirnya yang bisa ia lakukan hanya mengedipkan matanya beberapa kali. Ia mengalihkan pandangannya ke arah rose, ke arah perempuan yang kini tengah mencium bibirnya. Hanya ciuman biasa yang berdurasi 5 detik, sebelum akhirnya rose melepaskan ciumannya.

Disadari atau tidak, jantung keduanya berdetak cepat. Dan kini june tidak tahan lagi, ia akan menerima konsekuensinya diakhir.

June menarik leher belakang rose, dan mulai mencium bibir rose. Bibir yang sudah lama sekali ia tidak rasakan. Perlahan mereka mulai melumat satu sama lain. Sudah dijelaskan kan, kalau ada yang aneh dengan rose ketika ia melakukan skinship dengan june. Rose kira itu hanya dulu, tapi nyatanya rasa aneh itu masih ada di dirinya sampai sekarang.

Awalnya june ingin membawa tubuh rose terbaring di sofa dengan perlahan. Tapi suara pintu kamar dibuka, mau tak mau membuat mereka melepaskan pagutan bibirnya satu sama lain. Tidak, tepatnya rose yang mendorong june menjauh.

Kedua orang itu berusaha duduk dan akting seolah tak ada apa apa. Mereka menatap lyn yang kini sedang berjalan menghampiri keduanya sambil mengucek matanya.

"Kenapa bangun lyn?" tanya rose dengan kikuk.

"Bunda kemana? Lyn cariin engga ada" tanya lyn balik.

Lyn memang seperti itu, ia tidak akan bisa tidur dengan baik tanpa ada rose di sisinya. Ketika bangun pun begitu, lyn akan segera mencari rose.

Beda halnya ketika tidak ada rose dan ia bersama june, mau tak mau lyn harus membiasakannya.

Rose hendak ke kamar, berniat menidurkan lyn kembali. Tapi june mencekal tangannya.

"Lu masih inget angka yang harus lu hafal kan?" tanya june.

"Iya, kenapa?"

June hanya menggelengkan kepalanya. "Engga apa apa, mulai sekarang jangan balik ke tempat lama lu"

"Lu gila?"

Bukan menjawab, june mengulurkan tangannya kepada rose. "Mana kunci kontrakan lu?"

Rose menghembuskan nafasnya kasar. "Engga. Lu engga usah repot repot kaya gini"

"Gue engga ngerasa begitu"

Belum sempat rose membalas apapun dari june, kini matanya terbelalak kaget karena lyn menyodorkan kunci kontrakan yang june cari kepada lelaki itu. Entah sejak kapan anaknya masuk ke kamar dan mengambil kunci itu. Belum sempat juga tangannya mengambil kunci itu, june sudah memasukkannya ke saku celana.

"Makasih lyn sayang" ucap june sambil mengelus rambut lyn sekilas.

"Mulai besok dan seterusnya lu harus tinggal disini sama lyn. Mulai besok juga, gue sebagai tamu disini. Jadi nanti barang barang lu bakal gue yang urus besok, dan lu tinggal terima rapih" jelas june.

"Asiiik.. beneran bun? Beneran kita tinggal disini?" tanya lyn antusias sambil menatap bundanya penuh harap.

Rose mengigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab apa.

"Iya, besok dan seterusnya kalian tinggal disini. Jadi kalau bunda ngajak pergi atau pulang, lyn jangan mau. Soalnya sekarang ini rumah lyn sama bunda lyn" ucap june pada lyn yang disambut wajah gembira oleh anak itu.

"Kalau gitu gue pulang, jangan coba coba pergi" pamit june disertai nada peringatan.

Sepeninggal june, rose menatap lyn yang tengah bahagia karena mendapatkan hunian baru. Sebegitu senangnya?

"Lyn mau tinggal disini?" tanya rose.

"Maaau bangeet.. bagus rumahnya. Lyn suka"

Rose hanya terdiam, sebelum akhirnya lyn berkata sesuatu yang menggoyahkan pikiran dan hatinya.

"Seandainya lyn punya ayah kaya om june. Lyn mau punya ayah kaya om june, soalnya --" omongan lyn terputus begitu rose menatapnya.

Lyn terdiam sambil menundukkan kepalanya. Ia takut bundanya akan marah lagi seperti kemarin kemarin.

Tapi ketakutan lyn berubah, ia bisa merasakan usapan di kepalanya. Dan barulah lyn berani menatap sang bunda.

"Udah malem, yuk tidur lagi biar bunda temenin" ucap rose, dan tentunya lyn hanya menurut.

RedeemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang