eps 8

686 135 9
                                    

EPS 8

Dahyun hendak berbalik dan menampar wajah Jimin namun Jimin sudah melesat dan menyahut ketika Sutradara Hyun Jae-nim mulai memanggil namanya. Dahyun hanya dapat mengepalkan tangannya. "Hish, orang itu!" gerutunya gusar.

Sona tertatih-tatih mendekatinya. "Ibumu, Nona."

"Apalagi ini?"

Sona cepat menyerahkan ponselnya. "Katanya dia mendadak diare. Mungkin salah makan seperti bulan lalu," jelas Sona, agak memelankan suaranya. Dahyun mengerang namun dia akhirnya menerima panggilan tersebut. Sementara itu, Jimin mulai menolehkan wajahnya ke arah Dahyun yang melangkah menjauh.

Aku benar-benar cemburu, kau harusnya tahu.

Hyun Jae menyentuh bahu Jimin, mengejutkan pria tersebut. "Hei! Curi-curi pandang seperti itu ilegal di sini," tegurnya namun tersenyum kecil. "Jujur saja, aku sudah bekerja begitu lama dengan Dahyun tapi baru akhir-akhir ini jadi lebih sering tersenyum dan gesit seperti itu. Biasanya dia memang gila kerja, tapi dia muram dan mengerikan."

Jimin tersenyum kecil. "Begitukah? Apakah dia memang seperti itu?"

"Ckck, dia tidak mudah didekati. Cuman siapa itu namanya ... Kim Taehyung yang dekat dengannya. Rumornya mereka itu hampir menikah—" Seseorang sudah memeloti mereka. Benar saja, Sona sudah berdeham keras seraya menatap keduanya bergantian. Hyun Jae pun melipat bibirnya dalam seraya meminta Jimin untuk memberikan pendapat mengenai beberapa rekaman yang baru diliputnya untuk melihat apakah set tersebut nampak proporsional atau masih perlu tambahan.

Jimin, diam-diam, kembali tersenyum. Dia jadi lebih sering tersenyum dan gesit. Dadanya menghangat hanya karena menduga bahwa itu semua karena kehadirannya. Yah, siapa pula yang tidak terpengaruh akan sosoknya? Gadis manapun, meskipun sesangar Dahyun, pasti tidak sekebal itu terhadap pesona dirinya.

Hyun Jae menyenggol lengan Jimin. "Jika kalian benar bersama, ingat aku dan traktir aku minum untuk seminggu."

*

*

Dahyun mengusap wajahnya kemudian memijat pelipisnya. Ponsel tersebut masih menempel akrab di telinganya sementara ibunya terus saja mengoceh bagaikan Dahyun yang baru sakit. "Eomma, aku sudah bilang. Makanan pedas itu tidak cocok untukmu. Sekarang, kau yang mengangguku sedang bekerja. Aku masih ada proses syuting sekarang. Aku akan istirahat, kau pun juga."

"Apakah Jimin bersamamu? Lain kali ajak dia ke rumah. Aku akan masak yang banyak untuknya."

Dahyun meringis. "Eomma, mengapa kau jadi tertarik dengannya? Dengar, aku dan Jimin hanya sebatas dekat karena pekerjaan. Astaga, apakah kau akan berheni sekarang? Aku baik-baik saja, dan Jimin pun sepertinya tidak senang jika terus diusik olehmu."

Ibu terdengar menggerutu di ujung sana. "Kau ini! Pesimis sekali! Jelas sekali dia sudah tertarik denganmu, aku melihatnya—" Dahyun hampir terkesiap ketika Hyorin mendekatinya untuk melaporkan mengenai tim dekorasi yang sudah membawakan beberapa sofa tersebut. "—ya, jangan lupa untuk makan pula."

"Baik, aku tutup sekarang." Dahyun cepat menaruh ponsel tersebut di saku mantelnya dan mulai mengikuti langkah Hyorin.

Sepertinya malam ini Dahyun pun tidak akan tidur. Seperti biasanya, jika syuting sudah mulai.

Hyorin memacu langkahnya, seraya mengarahkan Dahyun menuju bagian luar untuk ke parkiran yang ada, di mana mobil pengangkut sudah menunggu. "Kita beruntung mendapatkannya sekarang juga."

"Aku sangat mengandalkanmu. Terimakasih." Dahyun pun mulai dibantu untuk naik ke dalam truk seraya menyentuh dan menepuk-nepuk sofa yang hendak diangkut tersebut. Dia mengusapnya, memperhatikannya dan memukulnya berulang kali.

"Sesuai dengan yang kau mau?" pekik Hyorin dari luar.

"Ya, ini sempurna. Bawa langsung ke dalam," katanya kemudian meminta beberapa petugas pengangkut untuk melakukannya. Dahyun pun dibantu turun dan berdiri memperhatikan bagaimana sofa-sofa tersebut dibawa masuk, melewati beberapa kru yang sudah berkumpul pula.

*

*

"Di mana Dahyun?" Pertanyaan Jimin memenuhi telinga Sona yang tengah sibuk menyesap teh hangatnya. Dia hampir terbatuk namun dia cepat menunjuk satu ruangan di dalam rumah tersebut, tepat di dekat dapur. Jimin pun melangkah melewati beberapa kru, membungkuk pelan dan tertegun mendapati satu sosok sudah berada di dekat kabinet bawah. Gadis itu terduduk seraya menyandar ke belakang dengan mata terpejam.

Hyorin mendekatinya dan berbisik. "Dia baru istirahat. Aku tidak tega membangunkannya sekarang. Tapi, sebentar lagi pasti dia bangun. Ckck, dia bahkan belum makan malam tadi," jelasnya.

Jimin pun mengangguk dan berjalan mendekati Dahyun. Dia ikut berjongkok dan memperhatikan wajah gadis tersebut dari dekat. Lihatlah macan satu ini! Ini jelas bukan yang pertama kali Jimin memperhatikan wajah polos Dahyun yang tertidur, kemarin juga dia sudah melihatnya. Tapi, Jimin justru tersenyum, merasa damai. Dahyun yang seperti ini yang membuatnya sulit berkedip. Akhirnya, Jimin melepaskan mantelnya seraya menyampirkannya di depan tubuh Dahyun. Dia memandang sejenak wajah Dahyun sementara sekitar masih ramai dengan langkah kaki, suara sayup-sayup serta beberapa bunyi peralatan yang diangkut.

"Untunglah kau tetap di sini. Kalau kau berani untuk pergi, kau tidak akan tahu apa yang akan aku lakukan kepada si kunyuk itu," ujar Jimin. Dia merapikan mantel tersebut dan mulai beranjak.

Dahyun agak melenguh kecil, kepalanya hampir terkulai jatuh sesaat Jimin cepat berbalik. Dengan kecepatan kilat, Jimin sudah menahan kepala Dahyun yang hampir jatuh ke kiri, nyaris membentur lantai. Dahyun masih terpejam, membuka sedikit mulutnya dan mendengkur halus.

"Astaga ..." Secara hati-hati, dia mengangkat kepala Dahyun. Namun beberapa deitk kemudian, Dahyun hampir menghantam lantai lagi. Hingga, Jimin akhirnya dengan satu tangan menahan kepala Dahyun dan dia mulai bergeser untuk duduk tepat di sisi Dahyun. Dia menaruh kepala Dahyun di pundaknya. Jimin menyingkirkan sedikit helaian rambut Dahyun yang menutupi wajah gadis tersebut dan memandangi wajah itu untuk beberapa menit berikutnya.

Cantik.

Jimin mengulum senyuman dan kembali melirik kecil Dahyun yang masih terpulas. Andai dia seperti ini di tiap harinya, aku pasti tidak kesulitan mendekatinya. Tapi, sebagian diri Jimin yang lain bersyukur karena sikap Dahyun yang keras tersebut, jadi tidak banyak laki-laki yang berani mendekati Dahyun. Ya, coba bayangkan saja, jika ada yang mendekat—terlepas dari urusan pekerjaan—Jimin yakin, Dahyun akan mendelikan matanya, memasang wajah ketus kemudian mengatakan hal yang menyakitkan jika lelaki itu berani mengajaknya kencan.

"Kau pikir aku mau kencan denganmu?"

Jimin sudah dapat membayangkannya. Dia bergerak pelan, merilekskan tubuhnya sementara kepala Dahyun masih menempel di bahunya yang tegap. Perlahan, begitu hati-hati, Jimin mengusap sisi pipi Dahyun.

[]

starlight channel | park jm ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang