eps 38

458 75 11
                                    

EPS 38

Sayang sekali aku harus pulang. Padahal masih ingin bersama Dae Hyun.

Dahyun menolehkan kepalanya ke gedung apartemen Taehyung dan Doyeon. Sebenarnya, dia masih ingin menginap bahkan Doyeon yang mengajaknya untuk menginap. Hanya saja, Dahyun tidak mau berbohong bahwa dia masih agak canggung, apalagi pembicaraannya dirinya dan Taehyung di ruang makan—itu masih membekas.

"Kau putus dengan Jimin? Bagaimana bisa? Kalian nampak ... serasi."

Dahyun tersenyum kecut; mantan kekasihku sudah menikah dan punya putra tampan. Pria yang tadinya kekasihku menurut untuk jauh dariku selama setahun. Satu pria muncul dan ingin aku kencan dengannya. Ibuku terus mendesak pernikahan. Acaraku akan mengudara sebentar lagi dan jadi perbincangan hangat di seluruh media—menjadi Kim Dahyun tidak pernah mudah.

"Aku ingin soju."

Mengandalkan ponselnya, Dahyun pun mulai menelepon Sona. Semoga saja dia—"Nona! Kau ke mana saja? Astaga! Semua orang mencarimu seperti kau sudah diculik! Kau ini!" Dan dia mengomel lagi.

"Aku hanya keluar menemui Kim Taehyung, ke rumahnya."

"Nona! Kau dan Taehyung?! Kalian balikan?"

"Sst, jangan asal bicara! Masa aku berselingkuh dengan pria bahkan sudah menjadi ayah sekarang!" protes Dahyun. Masih terasa canggung di lidahnya mengatakan Taehyung sebagai ayah. Taehyung sebagai ayah? Huh, bahkan tidak pernah terlintas di kepalanya.

"Sekarang kau di mana? Aku akan jemput!"

"Tenang, aku akan kembali satu jam lagi. Aku akan cari kedai soju di dekat sini, nanti aku hubungi."

"No—"

Dahyun sudah memutuskan panggilan tersebut. Tidak mungkin kan wartawan mengekorinya sampai selarut ini? Maksudnya, mereka pasti sudah kembali ke rumah masing-masing maupun kantor berita mereka? Dahyun mengedikkan bahu. Masa bodoh ah. Seketika, mata Dahyun bersinar menemukan satu kedai akrab di matanya.

Seperti deja vu.

Itu yang dirasakan sesaat dia mengingat bagaimana dia mabuk berat karena Taehyung yang tidur dengan wanita lain, kemudian Jimin menemukannya. Dahyun yangsudah teler dan menangis sangat tidak elegan.

"Nyonya, aku mau sojunya," katanya dan mengambil tempat di dekat tirai kedai. Dia terduduk dan menarik napas. Kedai pinggir jalan warna oranye dan semi permanen seperti ini yang disukainya, bukan restauran maupun klab remang-remang. Di sini ada banyak kehidupan—entah itu bapak-bapak yang kelelahan dan bau keringat. Gadis-gadis yang bercengkerama dengan kawannya, maupun pria-pria berjas yang sekadar menepi dari tanggungan dan beban lembur mereka.

"Silakan."

"Aku mau satu juga."

Dahyun terperajat mendengar suara tersebut, disusul dengan satu sosok berbahu tegap yang turut masuk ke dalam tenda. Dia tersenyum kepada ibu penjual yang sekarang sudah menyuruh anak gadis untuk mengambilkan sebotol soju dari lemari pendingin mereka. Sedetik berikutnya, Jimin sudah menoleh hingga pandangan mereka terkunci.

Uh? Jimin?

*

*

"Kau yang terjahat! Sangat jahat dari orang mana pun yang aku kenal!" pekiknya frustrasi seraya menuangkan kembali botol tersebut. Bukan kejutan bahwa Jimin biasanya kuat untuk minum. Tetapi, sekarang dia sudah sesenggukan dengan nada suara yang kacau. Kau pikir satu tahun itu singkat? Hah?" racaunya terus menerus.

"Jimin, aku minta maaf. Tapi, kau sudah minum—"

Jimin mendengus dan menenggak langsung gelasnya. Dia mengusap air matanya kasar, sedangkan Dahyun masih punya sisa kesadarannya. Agak menggelitik dan konyol menyaksikan Park Jimin yang terbiasa sok tegar menjadi Jimin yang penuh air mata dan menangis bagaikan baru saja diminta memotong bawang banyak-banyak. "Kau. Jahat!"

Dahyun menghela napas, mengisi gelasnya. "Aku minta maaf. Tapi kau tahu sendiri, aku harus fokus pada satu hal atau aku akan mengacau. Lagipula, aku lihat kau sudah dekat dengan banyak kru perempuan—"

"Mereka bukan kau! Mereka bukan Dahyun!"

"Jadi—"

"Yah! Aku tidak mau mereka," gerutunya dan terisak. "Mereka bukan kau. Aish, mengapa aku harus jatuh cintanya dengan kau. Menyusahkan." Jimin berusaha menemukan titik fokusnya namun bibir botol justru mengarah ke meja hingga soju pun mengalir bebas di meja mereka.

"Ya, Park Jimin!"

"Nah, tidak ada yang meneriaki seperti itu kepadaku kalau bukan kau." Jimin menaruh botolnya seraya menutupi wajahnya. "Aku masih cinta denganmu, kau menyiksaku. Aku menunggu bagaikan keledai dungu tapi kaumalah kencan dengan si anak baru. Ah, nasibku—"

"Siapa bilang?"

Jimin terkesiap dan mengangkat wajahnya. Matanya sudah memerah dengan hidung berair. "Apa maksudmu?"

"Siapa bilang aku setuju kencan dengan Jungkook? Hah? Kau percaya gosip sekarang?"

"Itu ... anak anak... Sona .. Ah tidak penting! Ibumu juga menyukai Jungkook daripada aku."

"Hish, mana peduli aku soal siapa yang disukai ibu. Memang ibu yang akan menikah? Hah? Ibu yang akan mencari pendamping? Bukan. Aku. Aku yang akan menikah dan cari pendamping."

Jimin sukses bungkam di kursinya, sementara Dahyun mulai meraih tisu dari tasnya dan mengelap meja mereka, menyingkirkan botol-botol soju kosong ke tepian dan menghela napas. "Aku berharap bahwa kau masih teguh menunggu, tapi rasanya, aku salah. Kau menyerah kan, Jimin-ssi? Kau sudah bosan menungguku kan? Baik kalau begitu. Terima kasih untuk semuanya. Kau mungkin menyesal sudah membuang waktu."

"Apa katamu?! Aku menunggumu! Aku tetap menunggumu."

"Kalau begitu, berhenti menangis dan katakan saja."

Jimin menautkan alisnya sedangkan Dahyun hanya mendesah pelan seraya melepaskan sesuatu dari cincinnya. "Kau itu payah, cengeng dan sekarang kau marah-marah bagaikan ibu-ibu tua." Dahyun menyerahkan cincin itu ke hadapan Jimin yang masih mengeryit. "Lamar aku."

"Hah?"

"Lamar aku saja. Kau sudah membuktikannya, bahwa kau memang pantas kembali kepadaku. Tapi kali ini tidak ada—" Dahyun sontak terlonjak dan melotot sesaat Jimin justru sudah melompat kemudian mendekapnya erat. "Jim—Jimin."

"Kau ingin aku melamarmu?" bisiknya. "Kau bercanda? Mengapa kau sangat sulit ditebak? Huh? Dasar licik, kau memang yang terjahat!"

Dahyun terkekeh, masih bertahan di posisi mereka. "Kau saja yang payah. Dasar payah."

[]

starlight channel | park jm ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang