•kalopsia•

684 98 37
                                    

"Sebab ternyata yang membuat hati kecilnya iri adalah sesuatu yang jarang sekali di syukuri orang lain"
.
.
.
.
.
.
.
Stella membuka semua buku-buku fisika yang ada di perpustakaan. Ia mencoba memecahkan lima soal yang tadi di berikan oleh Pak Seno.

Empat soal sudah selesai, tinggal satu soal lagi. Stella memijat pelipisnya perlahan, kedua matanya masih fokus pada selembar kertas coretan yang ia gunakan untuk mengotak-atik rumus.

Tangan kanannya sibuk menulis-nulis angka. Hingga tanpa sadar darah segar mengalir dari hidungnya.

Stella berdecak kesal. Untung darah itu tidak menetes mengenai buku tugas fisika miliknya dan hanya mengenai kertas coretan saja.

Ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan selembar tissu untuk mengelap tetesan darah tersebut.

Ia mendongakkan kepalanya ke atas lalu memejamkan mata sesaat. Memang terasa pusing sekali kepalanya tersebut, lebih-lebih semalam ia juga begadang demi belajar kimia yang jadwal ulangan hariannya besok.

Stella mencoba bernafas dengan tenang dan memberi sedikit jeda agar otaknya dapat bersantai.

Ia melirik ke arah sekitar perpustakaan. Tidak ada siapapun yang berada disini karena mereka semua sedang makan di kantin. Intinya, perpustakaan bukan destinasi favorite para murid. Terkecuali, Stella. Ia suka disini karena ketenangannya.

Stella masih mendongakkan kepalanya, ia menyumpalkan tissu ke lubang hidungnya agar darah tidak menetes lagi dari sana.

Ya, Stella memang kerap begini kalau terlalu banyak belajar. Wajar saja, cewek itu memporsir sekali tubuhnya untuk belajar mata pelajaran eksak berkali-kali lipat dari biasanya.

Selain karena sudah memasukki kelas 12, Stella juga punya tanggung jawab besar untuk tidak mengecewakan kedua orangtuanya yang merupakan dokter.

Ayah Stella seorang dokter spesialis penyakit dalam, sementara ibu Stella dokter spesialis kandungan. Bahkan, kakaknya Stella saat ini tengah menjalani pendidikan kedokteran spesialis anak.

Stella?

Apa cita-citanya?

Dokter juga mungkin?

Ah, itu bukan cita-cita lagi. Melainkan kewajiban yang harus Stella capai.

Otak Stella jadi kembali memutar beberapa kenangan masa kecilnya. Dimana Mbak Dela, kakak kandung Stella selalu mendapat peringkat satu di kelasnya sejak SD hingga SMA.

Berbeda dengan Stella, yang entah kenapa tidak pernah mencapai posisi itu sekeras apapun ia berusaha. Ia memang selalu berada di tiga besar tapi tidak pernah berada di nomor satu.

Tidak heran kalau biasanya ibu atau ayahnya tidak begitu bersemangat mengambilkan raport Stella. Kalimat-kalimat membandingkan dari mulut mereka sudah menjadi makanan sehari-hari buat Stella.

Namun, cewek itu tetap tegar. Ia masih berjuang sampai detik ini untuk membuktikan bahwa peluangnya untuk mendapat peringkat satu masih ada.

Walau faktanya tak semudah yang Stella bayangkan.

Stella sudah membakar habis semua kertas ulangan harian yang tidak pernah berani Stella bawa pulang.

Nilai Stella tidak seratus. Memang nilainya mentok 90 atau 95, tapi tetap saja bukan 100!

Ayah dan ibunya tentu tidak mengharapkan itu.

Maka disinilah Stella selalu merenungi semuanya. Ia terkadang iri pada Gita teman sekelasnya yang di gadang-gadang murid jenius. Pasalnya, cewek itu tidak pernah terlihat belajar dengan serius namun nilainya selalu seratus.

TELL ME WHAT IS LOVE (kaistal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang