002
//
flower
Walau sudah diminta berulang kali untuk mengatakan apa yang tengah dipikirkannya, Jennie Kim memilih untuk menolak lagi dan mencari pembicaraan lain. Padahal, maksud awalnya meminta teman baiknya, Lisa, untuk menginap di tempatnya karena ia tak tahan.
Tetapi, terus saja ia menahan diri.
Sampai Lisa lupa untuk tak bertanya lagi.
Bahkan sampai esok hari dimana mereka harus berpisah karena dirinya dan juga Lisa harus pergi kuliah.
Mereka adalah teman sejak SMA. Teman baik, yang selalu bersama.
Jennie pikir ia tak memiliki teman lain selain gadis itu.
Sayangnya, mereka harus kuliah di tempat berbeda. Dan karena hal itu, mereka tinggal di apartemen yang berbeda. Padahal bisa saja mereka tinggal bersama, hanya saja Jennie tak bisa karena teman baiknya itu sudah memiliki kekasih beberapa saat setelah ia masuk kuliah saat itu.
Dan, alasannya sangat besar untuk itu.
Jennie tak bisa untuk terus bersama Lisa walau ia menginginkannya. Padahal, jika boleh jujur, dia merasa kesepian.
Dia merasa, tak ada seorangpun yang bisa mengerti dirinya.
Hanya Lisa yang ia butuhkan.
Andai saja, ia bisa mengatakannya pada Lisa. Apakah persahabatan mereka akan rusak atau Lisa akan rela meninggalkan kekasihnya demi dirinya?
Jennie menghela napasnya, sampai ia tak sadar bahwa seseorang mendekat ke arahnya, dimana ia tengah duduk di jajaran belakang dalam kelas di kampusnya.
"Hei."
Jennie meliriknya dan menghela napas.
Kapan ia akan berhenti?
"Kau punya... waktu hari ini?"
"Tidak."
Mungkin jawaban itu agak menyakitkan, tetapi Jennie tak peduli. Dia terlalu muak menghadapinya yang tak pernah berhenti untuk mengejarnya.
Sayangnya, pemuda itu seolah memiliki kekuatan dari beberapa teman kelas mereka yang mengatakan bahwa mereka cocok dan keduanya sama-sama lajang.
Apanya yang cocok?
Hanya karena tinggi tubuh kami yang lumayan jauh sehingga terlihat begitu imut dimata kalian?
Apa hubungan hanya dihitung dari penampilan fisik saja?
Jika cantik dan tampan, voila! Kalian cocok!
Cih! Jangan bercanda.
"Sebenarnya aku bukan ingin mengajakmu nonton atau makan seperti yang biasanya kulakukan." ucapnya lagi.
Jennie takkan repot-repot untuk melihatnya saat ia kembali menatap lurus ke depan.
Walau tak ditanya, pemuda tersebut melanjutkan kalimatnya. "Aku hanya ingin menanyakan apakah kau mau mengantarku?"
Apa aku terlihat mau?!
"Sebenarnya, hari ini, Ibuku berulang tahun. Aku ingin minta bantuan untuk kado apa yang harus kuberikan untuknya."
Bukan urusanku.
"Sebenarnya... aku sudah tahu sih kadonya..."
Lalu apa urusannya denganku?!
"Tapi aku ingin minta bantuanmu untuk—"
"Apa? Apa lagi?" Jennie memotong ucapannya dengan bentakan sembari menatapnya kesal.
Bisa tidak untuk pergi dari hadapannya?
Jika pemuda itu sudah tahu akan apa yang harus dilakukannya, apa yang ia butuhkan darinya?
Mengejarnya sampai mati?
Alasan konyol!
"Untuk... menemaniku memberikannya."
"Kau tidak bisa pergi sendiri, huh? Aku tak mengerti mengapa kau terus-terusan mencoba untuk mengajakku pergi bersamamu! Kau bilang Ibumu berulang tahun! Urusi urusanmu sendiri! Kau punya kaki untuk mendatanginya dan aku yakin Ibumu juga bisa mencapaimu tanpa harus aku ikut!"
Tetapi, pemuda itu hanya tersenyum tipis.
Dan kalimat yang ia berikan hanya memberikan rasa bersalah pada Jennie.
"Ibuku ada di dalam tanah. Dia tak bisa berjalan untuk selamanya."
//
Jennie tahu dia melontarkan kalimat kasar tadi dan hanya ini yang bisa ia lakukan.
Mengikuti keinginannya untuk menebus perasaan beraslahnya. Dan Jennie harap, setelah ini, pemuda itu berhenti mengejarnya karena Jennie terlalu muak disini.
Pemuda itu membawanya menaiki motornya, menuju suatu tempat yang mungkin hanya berjarak sekitar empat kilometer dari kampus mereka. Jennie tak terbiasa pergi ke tempat ini. Hidupnya seolah terlalu suram untuk diberikan banyak warna seperti apa yang tengah tersaji di hadapannya.
Toko bunga.
Jennie terkesiap karena hanya terpaku sejak ia turun dari motor, sampai pemuda itu harus menariknya dari bayangannya. Jennie pun memasang kembali wajah dinginnya dan kemudian berjalan masuk mengikuti pemuda itu.
Tetapi melihat seorang gadis yang memakai apron—mungkin pegawai, mungkin juga pemilik toko ini—menyapanya dengan ramah, Jennie pikir dia sudah sering kemari.
"Kau jadi off hari ini?" tanyanya lembut.
Off?
Apa maksudnya?
"Ya. Tidak apa kau menjaga toko sendiri?"
"Bukan masalah." jawab gadis itu padanya. Lalu ia melirik Jennie yang segera mengerjapkan matanya—terkejut. "Hai."
"H-hai..." Jennie membalasnya ragu.
Lalu gadis berambut hitam sepunggung itu kembali pada pemuda itu sembari menepuk lengannya pelan. "Aku akan ambil dahulu bunganya."
Tinggalah Jennie dan pemuda itu untuk beberapa saat sembari menunggu gadis itu kembali dari balik pintu yang dilaluinya.
Ada pertanyaan di benak Jennie, tetapi ia tak ingin menanyakannya karena tak mau pemuda itu berpikir bahwa ia memberikan harapan.
Padahal, ia hanya ingin memastikan saja, apakah pemuda itu bekerja sambilan di tempat ini?
Karena dari percakapan tadi, sepertinya begitu.
Beberapa saat kemudian, gadis itu kembali sembari membawa sebuket bunga yang agak panjang dan berwarna putih. Jennie tak yakin tahu namanya walau ia sering melihatnya di televisi dan media lainnya.
"Maaf aku tak bisa kut." ucap gadis itu sembari memberikan buket bunga tersebut pada pemuda berambut coklat tua tersebut. "Aku harus menyelesaikan permintaan seribu mawar ini."
"Kau benar." ucapnya. "Kalau begitu, aku pergi dahulu. Jangan lupa potong ini dari gajiku."
"Tak perlu bayaran." gadis itu membalasnya dengan senyuman. "Salam dariku."
Pemuda itu pun tersenyum dan pamit. Lalu ia mengajak Jennie yang masih diam, tak tahu harus melakukan apa, untuk keluar.
Tetapi Jennie masih memiliki pertanyaan.
Pertanyaan lain yang berbeda.
Saat pemuda itu tengah mempersiapkan motornya, Jennie terdiam memperhatikannya. Sampai ia menyadari dan memilih untuk bertanya.
"Ada apa, Jennie?"
"Bunga itu... apa namanya?"
Pemuda itu menjawabnya sambil menarik segaris senyuman paling tipis yang pernah Jennie lihat. "Lily."
//
beri komentar ya teman teman~
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ the edge of the cliff
Hayran Kurgu[M] bangtan x blackpink warn! too much shits going on