22. Malam Minggu

1.5K 176 69
                                    

.

.

.

"Ada apa? Kenapa kau menekuk wajahmu..? Bukankah lebih baik kau persiapan untuk menjemput Paman dan Bibi Oh..?"

"Anii... Oppa, tolong jangan paksa aku. Aku benar-benar dalam keadaan buruk.  Apakah oppa tahu, mereka datang hanya setahun sekali. Itu juga disaat hari kematian Yeonseok oppa. Mereka sama sekali tidak pernah memikirkan kami. Mereka menghubungiku hanya menanyakan tentang perusahaannya saja."

Haejin menepuk pundak Yeonseo yang sudah bergetar. "Bukankah mereka sangat menyayangimu?"

"Nde.. tapi tidak untuk Sehun." Bantah Yeonseo. "Oppa, ijinkan aku menginap dirumahmu untuk malam ini saja." Bujuk Yeonseo.

"Hajima... Itu akan membuat kedua orangtuamu terluka, lebih baik kau berkumpul bersama mereka. Pasti mereka sangat merindukanmu. Apakah Sehun yang akan menjemput mereka? Apakah kau tidak khawatir?"

Yeonseo kembali tertunduk. "Aku harap Sehun bisa menyetabilkan emosinya. Aku harap akan baik-baik saja." Yeonseo menggenggam tangan kekar milik tunangannya itu. "Tapi, Oppa.. aku mempunyai firasat yang buruk.." Yeonseo menatap manik Haejin dengan serius. "Oppa ingat Willy?"

Haejin mencerna pertanyaan Yeonseo. Dia sedikit menerawang. "Aku tidak yakin, bukankah itu..."

Yeonseo mengangguk. "Kejadian lima dan sepuluh tahun silam." Aku akhir-akhir ini terus bermimpi tentang dia."

"Apa yang kau impikan?" Haejin mendengarkan dengan antusias.

"Dia berusaha untuk menikam Sehun."

"Bukankah itu seperti yang diimpikan Hunnie tempo lalu."

Yeonseo kembali mengangguk. "Oppa, jika Sehun melakukan perawatan, tolong tanyakan sesuatu tentang itu. Apakah dia juga memimpikannya? Sungguh aku tidak ingin dia muncul ditengah-tengah kami. Cukup aku kehilangan Yeonseok oppa, dan aku tidak mau kehilangan Sehun." Yeonseo menghembuskan nafasnya kasar.

Haejin memeluk tubuh Yeonseo, sesekali dia mengelus surainya.
"Sebenarnya apa yang kau keluhkan? Orangtuamu? Atau Sehun?.." tanya Haejin tenang dan terkesan tegas.

"Molla... Aku hanya sedang tidak baik hari ini."

"Tolong tenanglah, semua akan baik-baik saja. Kau sudah banyak menanggung beban. Pekerjaan, adikmu dan keluargamu. Ingin rasanya aku meminta sedikit beban itu. Chagia... Jangan pernah menganggap kalau kau itu sendirian. Ada aku disini yang selalu siap membantumu kapanpun dan di manapun. Arachi..."

Yeonseo kembali mengangguk dalam pelukan Haejin.

"Baiklah, sekarang bersiaplah. Kau juga harus menyambut kedatangan kedua orangtuamu. Aku akan ikut bersamamu."

"Oppa juga ikut?" Tanya Yeonseo memastikan sambil menatap kedua bola mata Haejin.

"Nde.. aku juga akan menyapa calon mertuaku." Senyum Haejin mereka, mencoba menghibur wanitanya.

Yeonseo turut tersenyum, walaupun terkesan dipaksa. Tetapi dia sangat beruntung. Walaupun beban dan tanggung jawabnya sangat berat, tunangannya itu selalu ada disisinya.

"Lalu, bagaimana dengan rumah sakitmu?"

"Disini kan bukan hanya aku saja dokter yang berkompeten, lagian kau lebih penting dari apapun."

"Gomawoo, oppa.." Yeonseo kembali memeluk tubuh tegap Haejin semakin erat.

.

.

.

🐥🐥🐥

Telepon dimeja kerja Sejeong berdering. Dengan sigap dia menganggap ganggang telepon itu.

✔️ WICH LOVE  ♥ ♥ ♥ Sejeong - Sehun [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang