Bab 9 - Berdua

37 5 0
                                    

"Mau saya antar?" yang di tanya diam, masih setia menatap ke sembarang arah.

Tidak putus asa, Dipta bersuara kembali, "Sepertinya jemputan kamu kejebak macet, atau ban mobilnya bocor? Dari pada disini menunggu berjam-jam mendingan saya antar gimana?" ujarnya kembali.

Kyara jengah melihat pria yang di hadapannya sekarang, yang tidak pernah berhenti berusaha mencari cara mendekatinya. Tapi, apa yang dikatakan Dipta ada benarnya juga bisa jadi Rudi supir pribadinya terjebak macet. Kyara menggelengkan kepalanya jangan sampai ia menerima ajakan Dipta.

"Kamu anggap saja saya ini tukang ojek, terus bayar deh gimana?" tawar Dipta.

Tidak perlu di anggap juga Dipta memanglah seorang tukang ojek.

Kyara kembali melihat ke sembarang arah memastikan tidak ada yang melihatnya bersama Dipta, menghembuskan nafas sejenak.

"Oke."

Terpaksa Kyara terpaksa melakukan hal ini kalau bukan karena keadaan yang terdesak. Kalau saja ia mau diajak membolos oleh ketiga temannya mungkin sekarang Kyara tidak akan berada dalam situasi bersama Dipta.

***

"Kamu enggak mau pegangan, nanti kamu..,"

"Enggak gue enggak bakalan jatuh, mendingan lo fokus nyetir deh! Dan enggak usah lirik-lirik gue dari kaca spion lo itu." Dipta tersenyum mendengar ocehan Kyara, ternyata Kyara menyadari bahwa ia mencuri pandang dari balik kaca spionnya.

Berdua dengan Kyara rasanya Dipta ingin menghentikan waktu dunia agar ia terus bersama dengan pujaan hatinya, mungkin benar Kyara memanglah gadis arogan tapi Dipta yakin es yang membeku jika di hangatkan pasti akan mencair. Begitupun dengan Dipta, ia akan terus berusaha mendekati Kyara dengan caranya walaupun tolakan demi tolakan yang ia dapatkan dari Kyara tidak memutuskan semangatnya.

Motor berbelok jalan, memasuki perumahan komplek.

"Thanks nih ongkosnya," memberikan uang satu lembar warna biru, Dipta menerimanya.
"Terimakasih untuk bayarannya," melempar senyum.
"Udah sana pergi, ngapain masih diam berdiri terus?" Dipta menjalankan motor, meninggalkan perumahan komplek nomer 42 itu.

Kyara memasuki rumahnya mendapati kedua orang tuanya, Rizal dan Anggun yang baru saja pulang dari luar kota. Orang tuanya datang itu tanda Kyara tidak akan kesepian lagi, walaupun hanya sesaat.

Saking bahagianya Kyara, ia langsung ceritakan semua hal yang terjadi akhir-akhir ini kepada mamanya, termasuk hal bertemu dengan cowok absurd seperti Pradipta.

"Mama, mama kenapa sih ketawa mulu aku tuh lagi kesel tahu,"
"Temen kamu itu lucu,"
"Apanya yang lucu sih lagian dia bukan temen aku ma,"
"Kamu enggak boleh kayak gitu, sayang, dari semua cerita kamu menurut mama dia cowok yang baik, seperti papa mu dulu,"
"Hah.., Apaan sih ma, kok jadi bahas si Dipta, udah ah, Kyara mau ke kamar mau istirahat."

Anggun terkekeh, Kyara berjalan kearah anak tangga, sebelum benar-benar menaiki tangga Anggun mengatakan sesuatu yang berhasil mendapat sorotan tajam dari mata Kyara.

"Kamu jangan terlalu kesal sama dia, nanti cinta lho sayang."

Kyara kesal berharap mamanya akan menjadi penasehat yang baik justru malah sebaliknya, membuatnya kesal bahkan kata terakhir Anggun berhasil membuat Kyara benar-benar merasa sebal, ia lebih memilih tidur istirahat di kamarnya.

***

"Baksonya nambah lagi aja dip," ujar Riyanti yang tengah mengunyah bakso.
"Udah, ini aja saya udah kenyang,"
"Bagaimana rasa baksonya?"
"Enak, Ayah mu hebat dalam meracik bumbu baksonya pantas saja cabangnya menjadi semakin banyak," puji Dipta tidak tanggung-tanggung.
"Ah, kamu Dipta, bisa aja."

Pukul 7 malam itu, Riyanti datang ke rumah Dipta mengajaknya datang ke acara pembukaan cabang warung bakso ayah Riyanti karena tidak enak hati melihat perempuan datang ke rumahnya sendirian, Dipta bersedia datang bersama Riyanti.

"Riyanti, saya pulang dulu yah, ini sudah larut malam. Saya, tidak enak sama paman dan bibi saya kalau sampai mereka menunggu saya," ujarnya.
"Oh ya udah kalau gitu biar ku antar kamu,"
"Ah, tidak usah, kalau saya diantar kamu si merah mau sama siapa?"
"Hahaha iya-iya, ya sudah kalau begitu, terimakasih ya sudah mau datang ya walaupun mendadak,"
"Iya sama-sama, titipkan salam untuk aya mu, Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."

Dipta melenggang pergi bersama si merah miliknya, bulan tengah bersinar cerah, jalanan ibu kota sangat padat, masih ramai. Tidak seperti di kampung nya jika sudah jam segini jalanan akan tampak sepi, tidak se ramai ini. Sangat berbeda.

Terus membelah jalan, sampai tiba motornya berhenti di pinggir trotoar jalan, menghampirinya di sebuah taman.

"Hay," yang di sapa terkejut melihat kedatangan Dipta di belakangnya.
"Lo ngapain disini?"
"Enggak ngapa-ngapain, hanya saja saya melihat kamu, makannya saya berhenti dan menghampiri kamu Kyara,"
"Mendingan lo pergi sana!"
"Saya tidak mungkin meninggalkan kamu sendirian, memangnya kamu menunggu siapa?" tanya balik.
"Siapa pun dia.. itu bukan urusan lo udah sana pergi deh ganggu aja," ucapnya ketus.

"Jangan usir saya, saya tidak bisa meninggalkan kamu, ayo pulang, biar aku antar sudah malam yang kamu tunggu mungkin lupa jalan," katanya memenangkan.

"Gue.. enggak mau pulang!"
"Ya sudah, aku juga tidak akan pulang," Dipta duduk di rerumputan, mengikuti Kyara yang tengah menatap rembulan. Dipta sebenarnya bingung ada dengan pikiran Kyara.

"Kak Romeo kapan kamu pulang? Aku bakalan selalu setia menunggu kakak," ujarnya yang masih setia menatap rembulan.
"Sama aku juga menunggu kamu ikut pulang dengan ku," seketika Kyara melayangkan tatapan tajamnya ke arah Dipta.

Setengah jam kemudian mereka berdua duduk di taman, tidak ada percakapan hanya keheningan diantaranya dan hanya ada kebisingan suara deru kendaraan di jalanan.

Dipta berdiri, "Romeo kamu itu tidak akan datang, kalau pun dia datang, dia seharusnya datang ke rumah mu! Bukan menyuruhmu menunggu disini, ayo pulang," ujarnya kesal.

"Romeo kamu itu seperti perempuan," sambung Dipta kembali.

Kyara kesal beraninya Dipta mengatakan hal semacam itu terlihat seperti menjelekkan Romeo di hadapannya.

"Mau sampai kapan kamu disini, sebentar lagi hujan, sudah mulai gerimis."

Kyara menatap langit yang kini mulai menitikkan air, langit semakin mendung tertutup kabut hitam. Dengan berat hati Kyara pulang bersama Dipta menaiki motor yang sama, si merah.
Membelah jalan bersama hanya ada keheningan diantaranya.

Si merah berhenti mendadak membuat tubuh Kyara terhuyung ke depan menabrak tubuh Dipta.

"Lo mau cari mati!"
"Tidak, ada kucing di depan, maaf ngerem mendadak." ia kembali melanjutkan perjalanannya.

Duduk diatas si merah bersama Kyara berhasil membuat degup jantung Dipta tak beraturan, di temani gerimis menambah kesan manis.

Sedangkan Kyara diam dalam lamunannya, andai Dipta di beri izin oleh tuhan ingin rasanya Dipta membagi senyumannya untuk Kyara.

***

Dipta tersenyum, "Jangan lupa untuk tersenyum, dengan tersenyum dapat mengurangi sedikit rasa iya rasa sakit di hati kita."

Kyara masih ingat jelas setiap kata yang barusan Dipta katakan, sebelum cowok itu benar-benar pergi meninggalkan halaman rumahnya.

Ibu kota di guyur hujan lebat, malam semakin larut, matanya sangat sulit untuk terpejam, padahal jarum jam sudah menunjukan ke angka sebelas malam.

Bagaskara Pradipta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang