Bab 28 - Hanya Kamu

33 3 0
                                    

"Mobilnya mogok non,"
"Kenapa bisa mogok sih Pak,"
"Mana Pak Jono tau non, iya kali mobilnya mogok ngomong dulu," ucap Jono
"Ah Pak Jono jangan bercanda, ini tuh panas banget, cepetan beresin!" titah Kyara.

Dengan sigap Jono langsung mencoba memperbaiki, satu jam kemudian tidak ada hasil mobil masih diam tidak hidup sama sekali. Kyara putuskan  pergi dengan berjalan kaki meninggalkan Jono sendirian.
Lelah, rasanya tapi Kyara harus terus berusaha sampai di pedesaan tempat kediamana rumah Dipta.

Ini untuk pertama kalinya Kyara nekat pergi ke luar kota sendirian tanpa di temani sang ibu dan ayahnya, lagi pula Kyara merasa dirinya sudah dewasa jadi tidak perlu harus di kawal kemanapun dirinya pergi.

Jalanan yang lumayan sempit membuat Kyara harus terpaksa berjalan kaki, mencari keberadaan Rumah Pradipta butuh perjuangan sama seperti cintanya harus di perjuangkan. Ini semua salahnya kalau saja malam itu dirinya menolak ajakan Romeo keadaannya tidak akan se-rumit ini, se-sabar apapun seorang Pradipta pasti ia akan punya rasa lelah.

"Permisi," katanya.

Ibu paruh baya itu menatap Kyara dari atas sampai bawah, pakaianya yang sangat mencolok begitu memperlihatkan jika dirinya adalah orang kota.

"Permisi bu, saya ingin bertanya?"
"Iya mau tanya apa?"
"Rumah ibu Ningsih dimana ya?"
"Bu Ningsih?"
"Iya," ibu paruh baya itu menatap Kyara sekali lagi tatapan yang mengintimidasi.
"Kamu lurus saja, ada pertigaan terus belok kanan, tembok rumah nya warna putih pagar." Kyara masih diam termenung mencerna setiap kata yang ibu paruh baya itu lontarkan. Selepas itu ia berterimakasih melanjutkan perjalanan kembali.

Menatap ke sembarang arah, kampung yang sangat nyaman, terlihat sangat bersih dan di jaga ke asriannya. Beberapa penduduk menatap dirinya dengan berbagai macam entah tatapan apa sulit diartikan, setelah melewati pertigaan, dan belok kanan sampailah Kyara dirumah yang lumayan sedikit besar ia menatap kesembarang arah, tidak ada lagi cat putih pagar di sekelilingnya.

"Assalamu'alaikum, Permisi." tidak ada jawaban, rumahnya sangat terlihat sepi, tidak ada yang menyahuti, dan tidak ada pula yang keluar.

Apa mungkin ibu paruh baya itu, menyesatkan jalannya tapi, sepertinya tidak mungkin tapi bisa jadi iya bagaimana ini.

Panas dan lelah yang Kyara rasakan dimana Pradipta nya itu sudah mencari tapi tak kunjung kelihatan, apa mungkin itu tanda Tuhan tidak mengizinkannya untuk bertemu dengan Dipta tapi, mungkin saja Tuhan tengah menguji kesabarannya.

Haus dahaganya mulai terasa ke dasar tenggorokannya, peluh keringat kecil mulai merembas ke dalam alis hitamnya.

***

Bunyi cangkul bertempur dengan tanah masih terdengar khas, Dipta masih terus menggali tanah membuat saluran air irigasi semakin deras masuk ke dalam sawahnya.

Hijau khas, padi yang baru saja berumur berapa bulan yang terawat baik. Pekerjaan ini mengingatkan dirinya dengan sang Ayah yang selalu mengajarinya begitu banyak, peninggalan yang paling berharga adalah sawah dan kebun sayur milik Ayahnya yang sampai sekarang terawat baik. Tapi, Dipta juga kasihan dengan ibu dan adiknya yang harus mengurus semuanya, andai saja Dipta dapat menolak beasiswa pindahan itu ia pasti bisa membantu ibu dan adiknya tapi sayangnya tidak ada kata penolakan, semua ini demi kebaikan masa depannya nanti untuk bisa menjadi orang yang sukses.

"Mas, ayo naik kita makan dulu,"
"Iya sebentar lagi Sri," sekali lagi ia menatap sawahnya, selepas itu menyusul ibu dan adiknya di pendopo yang dekat dengan kebunnya.

"Dipta ayo ndo makan dulu,"
"Iya bu," ia menatap beberapa sayur-sayur yang telah di panen oleh ibu dan adiknya.
"Ini mau di jual bu?"
"Iyo,"
"Ke siapa bu?"
"Pak Dani juragan sayur mas,"
"Oh Pak Dani,"
"Udah ayo makan dulu, lepas itu kita pulang ini sudah mau sore," kata ibunya.

Bagaskara Pradipta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang