[Follow dulu sebelum baca]
❝ 𝙄 𝙡𝙤𝙫𝙚 𝙮𝙤𝙪 𝙨𝙩𝙞𝙡𝙡. 𝙄 𝙖𝙡𝙬𝙖𝙮𝙨 𝙬𝙞𝙡𝙡, 𝙚𝙫𝙚𝙣 𝙩𝙝𝙤𝙪𝙜𝙝 𝙮𝙤𝙪 𝙖𝙧𝙚 𝙬𝙧𝙤𝙣𝙜. ❞ - Hericane, LANY
Mereka bilang, banyak yang lebih baik.
Mereka bilang, kamu itu bencana.
Mereka bilang, aku hanya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Semakin pelan erangan yang terdengar di telinganya, semakin kuat injakkan kaki kanan Widura di pundak orang ini.
"Ampun! Sakit, anji—"
Dan injakkan Widura di pundak itu pun menguat. Hingga bisa dilihat seragam putih Rifky membekas noda abu-abu dan coklat dari alas sepatu Widura. Tapi, Widura tak peduli. Ia malah melepehkan permen karet mint-nya ke sembarang arah.
Ekspresinya masih tetap sama. Datar. Widura memang paling pandai untuk menyembunyikan apa pun yang ia rasakan. Dewa di dalam dirinya ingin memberontak. Seolah menegaskan; mata harus dibayar mata. Nyawa pun harus dibayar nyawa.
"Wid, gak lucu nih anak baru sekolah besoknya kita solatin." sela Kievlan, sahabatnya. "Udah si ayo."
Bukannya berhenti, ia malah menendang bahu Rifky, dan kembali menginjaknya sampai laki-laki itu benar-benar tengkurap pasrah.
"Sumpah, bukan gue yang cepuin lo," suara Rifky bergetar. "Sumpah bukan gue," sambil memiringkan sisi wajahnya, berusaha melihat Widura.
Widura menarik satu alisnya. "Terus siapa?"
Hanya Widura, yang bisa bicara sesantai dan sedatar itu namun terdengar mengerikan oleh lawan bicaranya. Ia bahkan tak peduli banyak kamera ponsel yang menjadikannya bahan untuk panjat sosial untuk dijadikan instastory atau lainnya.
"Siapa?" Ulangnya dengan nada yang sama.
Banteng sekolah.
Stigma itu selalu melekat padanya. Seperti yang sudah-sudah; siapapun yang berani kibarkan kain merah padanya, harus siap tanggung konsekuensinya.
Semua orang tahu, Widura tidak akan berhenti sebelum ia mendapat apa yang ia mau. Dari seluruh pasang mata yang menonton, dan perekam kejadian tidak ada satupun yang berani melerai mereka.
"Cukup." Tegas sosok perempuan berambut ikal yang tengah menatapnya sangsi. "Angkat kaki kamu."
Widura tak sadar jika ia menahan napasnya. Ditatapnya perempuan di hadapannya dari ujung kepala sampai kaki.
"Angkat."
Tatapan laki-laki itu beralih ke tangan mungil gadis itu. Pemandangan itu membuatnya tanpa sadar melepaskan kakinya dari yang di bahu Rifky beralih menendang sekali bahu laki-laki itu sebelum akhirnya ia meninggalkan koridor.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.