BAB 11

19 4 2
                                    

Selamat Membaca!!!
.
.
.
Langkah y ang dibalut dengan sepatu converse berjalan menapaki lantai rooftop yang mana biasanya jarang disentuh oleh para murid SMA Nusa Bangsa. Langkah itu melanjut berjalan ke arah teralis besi rooftop.

Sebetulnya, jam pelajaran masih berlangsung. Namun akibat merasa penat, dan merasa bahwa fokusnya tak disana, jadi lah ia berpura-pura izin ke toilet kepada pak Tora. Persetan dengan membolos dan akan masuk ruang BK. Sekali-sekali menjadi siswa pembangkang tidak apa-apa kan?

Mata Andrea menatap lurus pemandangan kota; bangunan yang menjulang tinggi serta perumahan yang disusun secara berhimpitan dan jangan lupakan jalanan yang selalu ramai dilewati oleh kendaraan.

Angin yang menerpa wajah gadis itu membantunya meringankan pikiran yang membebaninya untuk saat ini. Dan itu seputar Aliyah. Ia masih ingat betul bagaimana reaksi sahabatnya itu saat mendengar gosip dari mulut Reli. Ia merasa bersalah karena tak menepati janjinya.

Baiklah, itu memang seputar follow back dan spam like. Tapi ucapan Reli yang melebih-lebihkan membuat Andrea cemas kalau misalnya Aliyah kemakan omongan si biang gosip itu. Ia sudah kelanjur janji, dan ia tak ingin Aliyah mengira bahwa ia mengingkari janjinya. Dan ia tak mau persababatannya rusak hanya karena itu.

Andrea memukul-mukul kepalanya merutuki kebodohannya yang bisa-bisanya ngefollow akun pribadi cowok itu.

"Lo kenapa?"

Suara seseorang menginterupsi pergerakan Andrea. Tanpa berbalik pun ia sudah tau itu siapa. Dan sialnya, jantungnya berdegup kencang sebagaimana biasanya kala si penyebab itu hadir di sekitarnya.

Kembali suara deheman terdengar dan kemudian suara tapak kaki yang melangkah mendekat. Spontan Andrea mencengkram kuat teralis besi rooftop sambil menggigit bibir bawahnya.

Dan tak lama kemudian, sesuatu menyentuh pundak kanannya. Andrea merapatkan bibirnya sambil menutup matanya erat-erat bersama degupannya yang semakin gila.

"Hey." panggilnya lagi. "Lo gapapa?"

Glek. Andrea berusaha menetralkan kegugupan yang melandanya. Ia menarik nafasnya panjang kemudian membuangnya secara perlahan. Barulah ia membalikkan badannya.

Dave menatap Andrea dengan tatapan yang Andrea sendiri tak mengerti. Alis cowok itu terangkat satu. "Muka lo merah. Kenapa? Sakit?"

Sialan! umpat Andrea dalam hati. "Eng--enggak apa-apa kok, kak. Kayaknyam karena kepanasan." dalihnya.

Dave menganggukkan kepalanya percaya. Karena memang alasan Andrea cukup logis, cuaca hari ini sangat cerah. Dave memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celananya. "Lo kenapa gak masuk kelas?"

Andrea menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia salah tingkah. "Gak kenapa-napa, kak." jawabnya tak tau mau mengarang alasan apa lagi.

"Dasar cewek." gumam Dave. Pemuda itu beralih menatap pemandangan kota. Sementara Andrea menatapnya heran.

"Hah?"

Dave mendecakkan lidah. "Hah. Huh. Heh. Makanya telinga dipasang, jangan cuma buat pajangan doang." cibirnya. Andrea meringis.

Sementara Dave acuh. Pemuda itu beralih duduk di kursi panjang. Kemudian ia menatap Andrea yang masih setia memperhatikan pergerakannya. "Sini." Ia menepuk ruang kosong disampingnya.

Dengan ragu, Andrea mendekat lantas duduk di samping Dave. Tak lupa untuk menciptakan jarak antara keduanya. Dan kini keduanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mata keduanya menatap lurus ke depan.

Keheningan tercipta.

Andrea memejamkan matanya sebentar, mencoba mencari ketenangan. Tetapi tidak bisa. Kepalanya merutuki kehadiran Dave. Ia yang awalnya sudah bertekad bulat untuk melupakan perasaannya dengan menguburnya dalam-dalam di dasar yang paling dalam seolah goyah.

Dear You,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang