BAB 21

15 1 0
                                    

Selamat membaca!!!
.
.
.

Hari mulai sore. Tepatnya di sebuah suasana pantai, terduduk sepasang remaja di pesisir pantai tanpa beralaskan apapun. Pakaian seragam SMA kebanggaan sekolahnya masih melekat di tubuh keduanya. Keduanya berbincang menikmati suasana pantai, sembari memperhatikan matahari yang mulai tenggelam. Mereka adalah,
Dave dan Andrea.

Setelah melewati beberapa hal, akhirnya mereka memilih untuk ke pantai saja. Awalnya Dave ingin menonton di bioskop saja, tapi Andrea tak mau. Ia inginnya ke dunia fantasi atau Dufan. Tapi, untuk mencapai keadilan keduanya sepakat ke pantai.

Dan rasanya mereka tak sia-sia kesini. Nyatanya, disini mereka menemukan kenyamanan bersama suara ombak pantai yang menenangkan.

Disini mereka menghabiskan waktu. Berjalan mengelilingi pantai sambil mengeluarkan candaan. Menikmati hidangan pantai yang begitu memanjakan lidah. Intinya, tak ada penyesalan diantara keduanya ketika berada di sini.

Senyuman tak lepas dari wajah Andrea. Gadis itu tampak bahagia saat ia menolehkan kepala kepada Dave yang ternyata sedang memperhatikannya. Entah sejak kapan. "Kak?" panggilnya.

Alis Dave terangkat. "Apa?"

"Nanti kalau udah lulus SMA, rencananya kakak mau kuliah dimana?" tanya Andrea. Gadis itu tetap menatap Dave, begitu juga Dave.

Namun, ketika pertanyaan itu terlontar dari mulut Andrea, Dave memalingkan wajahnya menatap lurus ke arah matahari yang kian tenggelam. "Oxford." jawabnya.

Tak taulah, tapi Andrea merasa ada ketidakrelaan ketika pemuda itu mengucapkannya. "Jauh banget." Itulah kalimat yang mampu dilontarkan oleh Andrea.

"Emang kenapa kalau jauh? Lo takut kangen?" Dave tertawa renyah di akhir kalimatnya.

"Yah gak lah. Ngapain juga?" jawab Andrea cepat walau sebenarnya hatinya bertolak belakang. Jujur, mendengar kabar kalau Dave akan pergi jauh untuk menempuh cita-citanya ada sedikit terbersit rasa ketidak relaan. Ia ingin mengungkapkan, tapi apakah ada hak yang mengikat?

"Kalau gue iya."

"Hah?"

Dave melirik ke arah Andrea sekilas. "Awalnya sih gue tekad banget kesana pengen nunjukin ke bokap kalau gue lebih dari apa yang pernah ia bayangkan. Tapi mengingat gue bakalan ninggalin orang yang gue sayang disini gue jadi berpikir dua kali."

"Kakak harus mikirin matang-matang apa tujuan sebenarnya kakak milih buat kuliah kesana. Kalau hanya untuk ambisi semata dan demi pengakuan dari orang lain, udah seharusnya kakak mikir dua kali. Tapi seharusnya udah keinginan dari hati yang paling dalam, biar gak ada yang namanya plin plan." Andrea ikut menatap lurus ke depan.

Dave bungkam. Ia memikirkan kalimat Andrea yang ia rasa ada benarnya. Ia memilih ke sana hanya untuk butuh pengakuan, pengakuan kepada Papanya bahwa ia bisa. Ia sudah cukup lelah menjadi perbandingan antara ia dan kakaknya, Yohan.

"Perpisahan itu hal wajar, kak. Lagipula, pisahnya hanya karena cita-cita kan? Jadi, itu hanya perpisahan sementara yang besar kemungkinan untuk jumpa lagi di kemudian hari. Jadi, aku rasa kakak gak usah pikir dua kali." lanjut Andrea.

Dave menghela nafasnya panjang. Keduanya pun bungkam memperhatikan matahari yang seperempat lagi akan tenggelam dan kembali pada peraduan.

"Oh iya, gue baru ingat. Gue ada sesuatu buat lo." Dave merogoh kantong celananya. Kemudian mengeluarkan sebuah benda, gelang.

Andrea menaikkan satu alisnya kala Dave menyodorkan gelang berwarna pink. "Buat aku?"

Dave mengangguk. "Tadi pas lo ke toilet bentaran, gue liat ada penjual souvenir. Dan gelang ini langsung menarik perhatian gue. Gue keinget sama lo, dan gue rasa lo cocok make gelang ini. Anggap aja hadiah karena udah mau nemenin gue jalan-jalan."

Dear You,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang