Prolog

11K 686 3
                                    

"You know the truth, by the way it feels."

-Anonymous-

.

.

.


Tahun 2013

"Mari kita sambut Aurellia Christabelle!"

Suara riuh penonton dalam studio terdengar keras dan bersemangat. Tiga orang kameramen menggerakan kameranya ke arah tirai merah. Seorang gadis remaja belia muncul dari balik tirai dengan senyuman lebar dan penampilan manis. Penonton semakin bersemangat dan kali ini beberapa orang dari mereka meneriaki nama gadis itu. Sebelah tangan gadis itu terangkat untuk melambai kepada para penonton sebelum duduk di sofa oranye studio itu.

Cahaya lampu terfokus pada gadis itu. Tiga kamera mengambil gambarnya dari beberapa posisi berbeda. Pembawa acara berdeham sambil mendekatkan microphone-nya. "Wah, cantik banget ya artis cilik kita ini!" Ujarnya dengan wajah yang terlalu bersemangat. Entah itu dibuat-buat karena dia memang dibayar atau memang dilakukan tulus. Gadis remaja itu masih terlalu muda untuk menyadari sekitarnya.

"Makasih," jawab gadis itu malu-malu.

"Duh saya jadi penasaran deh besarnya kamu jadi secantik apa, bisa aja jadi artis papan atas yang mengglobal 'kan?" Ucap pembawa acara itu melebih-lebihkan. "Aurel katanya baru launching album pertama minggu kemarin ya?"

"Iya," jawab gadis itu sambil mengedarkan tatapannya kepada para penonton. "Aku bangga banget bisa keluarin album ini. Padahal aku sebelumnya ngga bisa nyanyi, tapi berkat bantuan les vokal dan juga Mama yang selalu semangat mendukung, akhirnya albumku keluar juga. Jangan lupa untuk beli albumnya ya!" Lanjut gadis bernama Aurel itu dengan kerlingan yang membuat penonton kembali riuh.

"Wah, berarti Mama kamu rajin banget ya, Rel," balas pembawa acara itu takjub. Matanya kemudian berpindah ke arah kursi penonton. "Oh, beliau bahkan ada di sini!"

Penonton mendadak mengikuti arah tatapan sang pembawa acara. Tangannya menunjuk ke satu sisi kursi penonton di bagian pojok. Dengan segera, satu pasang kamera memutar angle-nya ke arah kursi penonton. Di sana duduk sosok ibu Aurel yang tersenyum bangga sambil melambaikan tangannya.

"Iya, Mama selalu temenin aku ke studio, ke tempat rekaman dan bahkan pas aku masih aktif banget jadi model," Aurel tersenyum semakin lebar. "Aku benar-benar beruntung."

Pembawa acara itu mengangguk setuju. "Benar tuh, Rel. Orang tua memang berperan penting banget ya dalam hal kesuksesan anaknya," pembawa acara itu kembali menatap Aurel. "Bagaimana dengan Papa kamu? Dia sering datang juga?"

Aurel merasakan sudut bibirnya bergerak sedikit. Secepat mungkin, dia menguasai dirinya dan tersenyum menyesal. "Papa terlalu sibuk bekerja di Jerman. Dia hanya pulang dua kali setahun, jadi untuk sekarang, Papa cuma bisa dukung aku dari balik layar."

"Wah, Papamu sekarang pasti bangga sama kamu, Rel!" Pembawa acara itu kembali berbicara. "Berhubung beliau sekarang ada di Jerman, kira-kira pesan apa yang mau kamu sampaikan? Kamu bisa menyampaikannya lewat kamera, siapa tahu Papa kamu lagi nonton acara ini!"

Aurel tertawa pelan sambil melirik sosok ibunya. Dia sama sekali tidak menyiapkan diri untuk kespontanan itu. Tapi dengan cepat, Aurel menarik napas dan memusatkan tatapannya pada salah satu kamera. Senyumnya perlahan berubah samar, seiring dengan alunan lagu lembut yang terdengar untuk mendukung suasana studio. Mulut gadis itu terbuka sambil mendekatkan microphone ke depan mulutnya.

"Hai, Pa," Aurel mengerjap pelan. "Akhirnya album Aurel keluar juga, seandainya Papa nonton siaran ini, pasti Papa bangga banget 'kan? Papa sehat-sehat ya, soalnya Aurel mau pergi bareng Papa dan Mama kayak dulu lagi," gadis itu bahkan tidak sadar suaranya mulai bergetar. "Aku sayang banget sama Papa."

Hening. 

Untuk beberapa saat, hanya terdengar suara isakan Aurel dan alunan instrumen lembut yang membuat suasana semakin terasa sedih.

Pembawa acara langsung menyodorkan tissue pada Aurel. "Aduh, aku jadi ikutan sedih. Semoga pesan kamu tersampaikan pada Papa-mu ya, Rel."

Gadis itu hanya sanggup mengangguk sambil berusaha meredakan tangisnya. Tidak ada satu kata pun yang dia katakan untuk Papa-nya itu palsu. Meskipun dia harus mengikuti skenario yang ibunya buat untuk kondisi ayahnya, tapi pesan gadis itu untuk ayahnya benar-benar tulus. Karena memang itulah harapan hati kecilnya sejak tiga tahun lalu. Untuk memiliki keluarga utuh lagi.

Acara itu berlanjut dengan pembawa acara yang mengalihkan topiknya ke album terbaru Aurel. Satu jam kemudian, syuting acara itu selesai. Aurel masuk ke dalam ruang ganti, menemukan sosok ibunya yang duduk di kursi panjang dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Matanya menatap Aurel dengan tatapan yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tatapan lembutnya di studio tadi. Di balik layar, inilah sosok ibunya yang tidak diketahui oleh publik.

"Rel, kamu harus banget ya nangis-nangis berlebihan begitu?" Tanya ibunya sinis. "Make up kamu sampai luntur begitu. Untung tadi kamu ga pakai eyeliner, kalau pakai terus luntur 'kan malu-maluin Mama."

Gadis itu mengunci pintu ruangan gantinya. Matanya menatap ibunya dengan tatapan lelah. "Ma, kita udah janji untuk engga pakai nama panggung aku pas kita cuma berdua."

"Sori, Mama kebiasaan," ibunya mengedikkan bahu tanpa kelihatan menyesal sama sekali. "Lagian nama Aurellia Christabelle tuh jauh lebih bagus daripada nama Niken Carabella Widjaya. Papa kamu itu ngga bisa milih nama, makanya urus keluarga juga ngga bisa."

Nama asli gadis itu adalah Niken Carabella Widjaya. Nama pemberian ayahnya sendiri. Niken sendiri sangat menyukai namanya yang tergolong unik di sekolah dulu. Tapi ketika ibunya memintanya untuk memakai nama panggung sebelum masuk ke dunia modeling dan tarik suara, Niken menurut saja. Ibunya yang bilang bahwa nama itu terdengar lebih cocok untuknya. Dia menurut lagi, demi menghargai pendapat ibunya.

"Aku tetap Niken di belakang layar, Ma," gadis itu merapatkan bibirnya. Menahan desakan untuk menumpahkan semua isi hatinya. Dia berhasil menahannya, seperti biasa. "Niken juga minta maaf karena udah kelepasan nangis terlalu parah tadi. Tapi Niken beneran kangen sama Papa, Ma."

Ibunya langsung bangkit berdiri dan menatap anak putrinya dengan tatapan tajam. "Kamu mau pulang ke rumah orang itu sekarang?"

"Ma-"

"Dia udah kehilangan akal sehat, Niken," ibunya menggeleng. "Mama juga menjauhkan kalian untuk kebaikan kamu."

"Tapi dia masih Papa aku, Ma," gumam Niken dengan mata berkaca-kaca. Sejak tiga tahun lalu, Niken bisa menghitung jumlah kunjungannya ke rumah ayahnya sendiri. Niken sendiri tidak bisa menyalahkan ibunya yang ingin menjauhkannya dari ayahnya. Tidak lain karena kondisi ayahnya sendiri. Ibunya takut ada reporter yang mengikuti mereka ke rumah dan menemukan kondisi asli ayahnya.

"Dia sakit, Niken," ucap ibunya dengan nada dingin.

Niken memejamkan matanya dan menarik napas. Metode ini dia ketahui adalah cara paling baik untuk menenangkan diri. Beberapa hal yang ibunya katakan memang benar. Soal kondisi ayahnya yang jauh dari sehat, kebohongan yang harus Niken buat untuk menyembunyikan keberadaan ayahnya dan juga soal nama panggungnya. Semua itu sudah menjadi jalan hidupnya.  Tapi terkadang Niken bertanya-tanya dalam hati, apa hanya dia yang memiliki masalah seperti ini di umurnya yang masih remaja?

Perlahan, bibir Niken membentuk seulas senyum palsu yang biasanya selalu dia tampilkan di depan televisi. Senyum itu juga senyum yang diajarkan ibunya untuk menyembunyikan sedih. "Niken ngerti, Ma. Kita ngga usah bahas soal Papa lagi. Kita pulang aja ya? Niken mau istirahat."

Ibunya menghela napas kemudian menuntun Niken untuk duduk sementara dia mengambil baju ganti. Niken menatap pantulan dirinya di depan cermin dan sekali lagi mengetes senyuman yang beratus-ratus kali dia latih untuk menyembunyikan sedihnya. Senyum itu bahkan terlihat menyedihkan di matanya sendiri. Untungnya, dia merasa lebih baik ketika melihat orang lain tidak mengasihaninya ketika dia tersenyum begini.

Bagaimana caranya untuk keluar dari kepalsuan hidupnya ini?

Affogato (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang