Epilog

9.3K 539 33
                                    

I may never find words beautiful enough to describe all that you mean to me, but I will spend the rest of my life searching for them.

-John Mark Green-

.

.

.

"Foto aku yang benar!"

Mulut Niken mengerucut ketika melihat sosok suaminya tidak mengambil fotonya dengan benar. Mereka saat ini sedang berada di Hokkaido, tepatnya di ladang bunga matahari yang bermekaran. Setelah menikah tiga hari yang lalu, mereka langsung berangkat untuk bulan madu. Hokkaido adalah destinasi bulan madu pilihan mereka setelah berpikir panjang. Wajah Leon sangat senang ketika mereka akhirnya sampai di sana.

Tapi sekarang suaminya berubah menyebalkan dan iseng. Niken langsung menghampirinya dan merebut ponselnya. Hal itu mengundang tawa dari bibir Leon. Suaminya itu mencium puncak kepalanya. Niken menepisnya sambil menatapnya galak. "Jangan cium-cium. Aku marah denganmu."

"Marah?" Alis Leon terangkat sebelah. "Kamu yang memintaku untuk memotretmu di ladang ini 'kan? Aku melakukannya dengan benar."

Niken mencibir sebal kemudian menarik tangan suaminya untuk berjalan mengelilingi taman bunga itu. Bibir Niken yang mengerucut perlahan kembali tersenyum. Rasanya sulit merasa kesal di tengah keindahan ini. Niken menoleh dan melihat wajah Leon yang terlihat sedikit murung. Niken langsung menepuk pipinya. "Kamu kenapa? Masih jetlag?" Tanya Niken bingung.

Leon menggeleng. "Ngga, aku cuma kepikiran dengan danau tempat ayah dan ibuku biasa berkunjung."

Senyum di bibir Niken semakin melebar. "Bagaimana kalau kita pergi ke sana?"

Mereka langsung berkunjung ke danau itu di hari yang sama. Niken langsung takjub karena melihat jumlah pengunjung yang mengelilingi danau besar itu. Tampaknya danau itu sudah menjadi salah satu target wisata orang-orang lokal di sana. Niken menemukan suaminya sedang berdiri di tepi danau sendirian. Matanya menatap bentangan air di depannya tanpa bergerak. Niken menghampirinya dan menggandeng tangannya.

Tangan Leon balas menggenggam tangannya. "Jadi, disinilah mereka bertemu."

Niken mengangguk. "Indah sekali ya."

"Katanya Papa sering duduk di bawah pohon besar di sana saat berkencan dengan Mama sewaktu mereka masih remaja," Leon menunjuk sebuah pohon besar tua yang terlihat sangat rindang. Puluhan orang duduk di bawah pohon itu untuk piknik bersama sambil menikmati musim semi di tepi danau. "Mau ke sana?"

Niken menjawabnya dengan tarikan tangan. Dia langsung menarik Leon ke bawah pohon itu. Mereka bersandar di batang pohon rindang itu. Udara sejuk langsung membuat Niken merasa lebih tenang. Tidak heran jika banyak orang menyukai tempat di bawah pohon itu, termasuk ayah dan ibu Leon. Niken menoleh dan melihat Leon sedang menatap batang pohon itu dengan postur tegang. Hal itu membuat Niken berjalan mendekat padanya dan ikut memperhatikan batang pohon yang sama.

Ada ukiran berbentuk payung yang kelihatannya dipahat dengan kerikil lancip. Di kedua sisi gagang payung itu ada dua buah nama yang tidak asing. "Ini nama ayahmu dan ibumu 'kan?"

Leon mengangguk kaku. Jarinya menyentuh ukiran itu. "Tampaknya ukiran ini sudah sangat tua sekali."

"Ternyata ayahmu cukup romantis juga sewaktu dia masih muda."

Affogato (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang