"If you were born with the weakness to fall, you were born with the strength to rise."
-rupi kaur-
.
.
.
"Iya, Roman. Taruh saja laporannya di ruanganku, aku akan mengeceknya nanti, terima kasih."
Ibu jari laki-laki itu menekan tombol merah di layar ponselnya untuk memutus sambungan. Sebelah tangannya masih memegang sendok sup kayu dan aktif mengaduk sup di dalam panci. Setelah meletakkan ponselnya di pantry, dia kembali fokus dengan sup di panci yang hampir matang. Dia mematikan kompor bertenaga listriknya setelah sup sudah matang. Tangannya membawa panci itu ke meja makan, sadar dengan sosok seorang gadis yang mengekori langkahnya dari belakang.
Gadis itu tanpa ragu langsung duduk di meja makan dengan dua mangkuk kosong dan bersih. Matanya jelas fokus menatap cairan sup dengan uap panas dan wangi yang menyebar ke penjuru ruangan. Tanpa basa-basi lagi, dia menyendokkan sup itu ke mangkuk miliknya. Seperti dia memang makan di tempat itu setiap hari, tanpa malu-malu. Dia tersenyum lebar lalu berdoa sebelum mengatakan dengan lantang, "Selamat makan!"
Ucapan itu diikuti gerakan tangannya mengambil sendok dari meja. Mulutnya meniup sup panas itu dan mencecapnya sedikit. Wajahnya berbinar ketika dia mencicipi satu sendok dan dia kembali menyendokkan sup itu berulang-ulang ke dalam mulutnya. Tepat seperti orang yang tidak sempat makan lebih dari tiga hari. Laki-laki di depannya hanya bisa menghela napas sebelum ikut mengambil sup miliknya di mangkuk bersih lainnya. Dia ikut makan sambil meniup supnya. Rasanya enak, sama seperti apa yang dulu ibunya ajarkan di rumah. Dia punya memori yang bagus, karena itu rasa dan komposisi bumbunya masih sama walaupun ibunya tidak pernah menulis resep masakan untuknya.
Rasanya memang enak, lumayan menurut lidah laki-laki itu. Tapi melihat gadis di depannya memakannya dengan lahap membuatnya berpikir rasa sup itu layak dimasak di restoran. Dalam waktu lima menit, gadis itu sudah kembali menambah porsi supnya dan kembali makan. Diam-diam laki-laki itu tersenyum sambil menatap sup di mangkuknya sendiri.
"Kenapa ngga dimakan? Nanti dingin jadi ngga enak lho," ucap gadis itu tiba-tiba, membuat kepala laki-laki itu mendongak ke arahnya. Gadis itu menatapnya dengan tatapan bingung. "Supnya enak kok," ucap gadis itu yang sepertinya merasa harus memberikan konfirmasi kepada sang pemasak sup.
"Hmm," laki-laki itu kembali makan beberapa sendok sup. Dia melirik gadis itu yang sedang menghabiskan sisa sup di dalam panci itu. Laki-laki di depannya hanya bisa menggeleng sambil menyembunyikan senyum. "Menurutmu, apa sebaiknya aku menambahkan menu sup di Gyoza Shack?"
Gyoza Shack adalah bisnis yang baru Leon rintis sejak dua tahun lalu. Setelah sukses membuka toko supplier biji kopi dan alat-alat pembuat kopi yang dikenal dengan nama Java Hut, dia memutuskan untuk membuka restoran dengan konsep makanan jepang itu. Alasan utamanya adalah karena dia memang sejak dulu mahir membungkus gyoza. Banyak orang yang mencoba gyoza buatannya bilang bahwa gyoza buatannya benar-benar enak. Hal itu yang menumbuhkan rasa percaya diri Leon untuk membuka usaha yang sekarang masih terbilang baru itu.
Tidak ada satu pun yang tahu kalau resep gyoza itu diturunkan langsung oleh ibu Leon. Ibu Leon adalah keturunan Jepang asli sampai dia bertemu dengan ayah Leon. Itulah alasan kenapa mata Leon menyipit dan melengkung seperti bulan ketika dia tersenyum. Kulitnya yang terlalu pucat meskipun dia sering beraktivitas di luar ruangan. Kedua aset permanen itu dia dapat dari ibunya, Shizuku Aditama. Dia bertemu dengan ayah Leon di Jepang lalu ibunya ikut ke Indonesia dan menikah dengan ayah Leon sampai akhirnya lahirlah Leon.

KAMU SEDANG MEMBACA
Affogato (FIN)
Romans(Seri Kedua dari Coffee Series) "Banyak orang bilang mencintai itu mudah. Tapi perihal bertahan, itu adalah sebuah pilihan." -Niken Carabella Widjaya #3 dalam kategori #kopi (27/06/20) #9 dalam kategori #ceritacinta (27/06/20)