Dua puluh

168 14 0
                                    

To the dark, to the door. To the new one spin before, but it feels like home.

ANDREAN yang tengah menunggu pesanan milik bos-nya terpaksa mengangkat telfon karena ponselnya yang terus bergetar.

"Ndre,"

Ternyata Marvel.

"Iya?"

"Arasya bilang sama gue mau buka toko ku—"

"Duit darimana, vel?" Andrean langsung menyela, kedua alisnya menyatu. Bagaimana bisa Arasya berpikir seperti itu sedangkan—

"Dari gue. Gue udah minta persetujuan Mami Papi gue. Mereka bilang boleh."

Otak Andrean berpikir keras.

"... Kalo Lo gimana? Boleh nggak?" Marvel kembali bersuara.

"Itu. Dana dari Lo pinjaman apa gimana, bro? Masalahnya—"

"Ini pesanannya, mas." Pelayan restoran didepan Andrean menyodorkan nampan berisi makanan yang ia minta.

Andrean melirik pelayan itu, dan memberikan sejumlah uang. "Thanks." Kemudian ia berjalan menjauh, membawa nampan itu dengan satu tangan dan satunya lagi menggenggam telfon.

"Vel?" Panggil Andrean, memastikan ia masih terhubung dengan Marvel.

"Hah? Iya, apaan? Jadi gimana?"

"Yang masalah dana dari bokap nyokap Lo, vel. Itu pinjaman apa gimana? Masalahnya kalo pinjaman mendingan nggak usah si Arasya buka-buka toko begituan. Gue males kalau masalah utang-utangan, vel."

Hening. "Free kok, ndre. Bukan utang. Bokap gue sengaja ngasih biar itung-itung ngebantu lo aja. Lo masih studi kan? Butuh banyak biaya pasti, ndre."

"Tapi gu—"

"Nggak ada tapi-tapian. Gue ikhlas kok, udah, jangan dibahas lagi." potong Marvel, tegas.

Garis bibir Andrean terangkat. "Thanks banget, vel. Kalo nggak ada lu, mungkin gue udah... kacau lah intinya."

"Sama-sama, ndre. Santai aja." []

HI, ARASYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang