Part 1

84.8K 3K 67
                                    

Tetes demi tetes air mata mengalir begitu deras bagai aliran sungai yang tak tahu di mana ujungnya. Kerumunan orang berbaju hitam semakin menciptakan kegelapan dan kesenduan hati, terutama seorang pria yang sedang memeluk gadis kecil di sampingnya. Tak ingin ketinggalan, kumpulan awan kelabu yang menggumpal kini mulai menurunkan rinai hujan ke bumi. Rintiknya saling bersahutan dengan lantunan doa yang mengiringi kepergian seorang wanita yang kini terbaring damai di bawah gundukan tanah yang basah.

"Ibu ... jangan tinggalkan Binar." Tak peduli dengan tangannya yang kotor, gadis kecil itu terus mencengkram gundukan tanah bertabur bunga milik wanita yang ia panggil ibu.

Sekelebat bayangan kebersamaan antara gadis kecil bernama Binar bersama sang ibu kembali terngiang di kepalanya. Tak mudah memang melupakan sosok yang telah melahirkannya ke dunia ini dan menemaninya selama delapan tahun ini. Ia tidak rela ketika takdir dengan kejam dan tanpa permisi memisahkannya dengan sang ibu.

Hanya dalam semalam, Binar merasa dunia indahnya telah dijungkir balik kala seorang polisi mengabarkan bahwa mobil yang ditumpangi ibu dan kakaknya masuk jurang. Dalam kecelakaan tragis itu, sang kakak sampai sekarang dikabarkan hilang, sementara itu sang supir tewas di tempat, sedangkan ibunya kritis. Namun Subuh tadi, rupanya sang ibu telah lelah menahan rasa sakitnya hingga akhirnya harus menyerah dan meregang nyawa.

Kini, mau tidak mau Binar harus menelan kepahitan di mana ia tak bisa lagi mendapat dekapan hangat dan kasih sayang dari sang ibu. Meski begitu, sosok yang paling berjasa itu akan selalu melekat erat dalam jiwa dan raganya.

"Sebaiknya kita pulang, apalagi hujan semakin deras. Kasihan putrimu," ucap salah seorang pria yang turut datang dalam acara pemakaman itu seraya menepuk bahu pria yang berstatus sebagai ayah Binar. Dengan lemah, ayah gadis kecil itu mengangguk.

"Ayo, Sayang, kita pulang," ajak ayah Binar.

Binar menggeleng. Tubuh kecilnya menunduk dan memeluk gundukan tanah. "Binar tidak mau, Ayah. Binar mau menemani Ibu. Ibu pasti kedinginan."

Sontak, tolakan dari gadis kecil itu membuat siapa saja merasa nyeri di ulu hatinya---tak tega melihat tetes air mata Binar yang begitu menyayat.

Seorang wanita berjongkok seraya mengusap lembut surai hitam Binar. "Sayang, sebaiknya kita pulang. Nanti, Binar bisa kemari lagi."

"Tidak mau, Tante. Kalau Tante Indira, Ayah dan yang lain mau pulang, pulang saja. Binar mau di sini bersama Ibu," tolak Binar, masih dengan posisi memeluk gundukan tanah ibunya.

Wanita yang bernama Indira menghela napas kasar. "Jangan seperti ini, Nak. Kalau seperti ini, Binar sama saja membuat Ibu sedih. Apa Binar rela membuat Ibu menangis di alam sana?" Gadis kecil yang ditanya pun menggeleng lemah. "Kalau Binar sayang pada Ibu, Binar harus ikhlas. Ibu sudah bahagia bersama Tuhan. Sekarang, kita pulang, ya," bujuk wanita itu lagi.

Perlahan Binar menegakkan tubuh kecilnya. Kedua tangannya direntangkan meminta sang ayah menggendongnya. Dengan sigap, ayahnya menggendongnya.

Derai air mata masih mengalir meski upacara pemakaman telah selesai. Bagaimana tidak, Starla---ibu Binar---adalah sosok wanita yang lembut dan baik di mata masyarakat. Oleh karena itu, siapa pun masih tidak rela melepas kepergian wanita itu. Dengan langkah gontai satu per satu kerumunan orang itu, pun dengan Binar berpencar, memasuki kendaraan masing-masing meninggalkan padang persinggahan abadi.

Bersama bulir-bulir bening yang perlahan menghapus jejak coklat akibat tanah yang menempel di wajah cantiknya, dalam gendongan sang ayah, kedua manik coklat Binar terus tertuju pada pusara sang ibu sampai perlahan, batas kesadarannya terenggut.

Satu menit, dua menit, tiga puluh menit, atau ... ah mungkin kata jam lebih tepat mewakilkan berapa lama gadis kecil itu terpejam hingga akhirnya, manik coklat itu terbuka sempurna bersama pekikan memanggil sang ibu.

Don't Kill My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang