Part 23

12.3K 979 64
                                    

Vote dulu, guys 💕

.
.
.

Pagi itu hening. Baik Binar maupun Rigel, keduanya kompak mengunci mulut untuk tidak bicara. Hanya denting garpu dan pisau yang saling beradu di atas piring yang terdengar. Hingga pancake isi selai coklat yang di bagian puncaknya diberi toping madu dan ceri di masing-masing piring tak bersisa, kedua sejoli itu masih setia tak saling sapa.

Binar beranjak dari posisi duduk, kedua tangannya piaway membereskan piring dan gelas bekas sarapan. Namun, ketika ia hendak membawa barang mudah pecah itu ke dapur, karena pekerja rumah tangga di villanya belum datang, dengan secepat kilat Rigel menahan tangannya.

"Biar aku saja yang cuci," ucap Rigel. Sorot matanya memancarkan kilat dan wajah dingin dengan rahang tegasnya mencerminkan tak mau dibantah. Pada akhirnya, Binar menurut dan kembali menghempaskan bokongnya di atas kursi makan.

Perasaan Binar tak menentu, batinnya tersayat, dan liquid di mata yang sedari tadi ditahannya terus memohon berderai. Ia menarik napas dalam-dalam---menahan sesak di dada---lalu mengembuskannya cepat. Dipandanginya ikan-ikan di kolam dari tembok kaca ruang makan. Ya, ruang makan villa ini memang didesain bisa melihat kolam dan taman kecil dari tembok kaca agar memberi kesan tenang saat makan. Namun kini, tak ada ketenangan sedikit pun dalam dirinya.

Binar merasa getir akan nasibnya sendiri, apalagi saat mendapati reaksi dari suaminya yang tak mau menjawab pertanyaannya, membuat segelintir asumsi negatif menggerayangi pikirannya. Ingin ia menjerit dan meraung kala hatinya merasakan sakitnya tikaman maha dahsyat itu, tapi yang bisa dilakukannya hanya menangis dalam diam.

Manik mata indahnya yang nampak berkaca-kaca dan siap memecahkan bulir kepedihan seketika berganti dengan rasa terkejut saat dua tangan berotot melingkar di tubuhnya dari belakang. Meski terperenyak, Binar tak langsung berbalik, namun tangannya memegang canggung lengan si pemilik tangan berotot.

Rigel memutar tubuh ke hadapan Binar. Setelah itu, ia berjongkok dan tangannya menggenggam tangan istrinya. Ditatapnya lekat manik mata sang istri. Ia tahu, di balik manik indah itu terselip luka yang bisa kapan saja mengalirkan derasnya sungai air mata dan ia tahu siapa penyebab luka itu.

"Kau tahu kenapa aku mendiamkanmu?" Pertanyaan Rigel dibalas Binar dengan sebuah gelengan pelan. Lantas pria itu mengembuskan napas kasar. "Demi Tuhan, aku tidak suka kau menyebut nama wanita itu."

"Maaf," cicit Binar.

"Aku tahu kesalahanku teramat besar, tapi apakah aku tak berhak mendapat kesempatan untuk memperbaikinya?" tanya Rigel. Ada desahan lelah dalam suaranya. Sementara itu, Binar bergeming seraya menundukkan kepala.

"Kepercayaan adalah salah satu pondasi dalam rumah tangga. Jika kau masih meragukanku, lantas mau dibawa ke mana rumah tangga kita?" Lagi, Binar hanya bergeming mendengar pertanyaan Rigel.

"Satu kesempatan. Kumohon ... beri aku satu kesempatan lagi," lirih Rigel memohon. "Terserah, jika sampai detik ini kau masih meragukan cintaku padamu. Yang jelas, akan kubuktikan bahwa aku bisa setia mencintaimu, menjagamu, dan membahagiakanmu," pungkasnya seraya mengecup kedua tangan sang istri.

Binar bergeming seraya merutuki pemikiran negatifnya. Hampir saja ia kembali membangun benteng es dan merobohkan kehangatan yang telah terjalin beberapa bulan ini. Jujur, ucapan suaminya begitu telak menamparnya. Ia telah melukai perasaan pria itu dengan meragukan kesungguhan pria itu dalam belajar mencintainya, padahal dalam suatu hubungan, kepercayaan adalah salah satu pondasi yang bisa menentukan kokoh tidaknya suatu hubungan. Hampir saja ia mengacaukannya dan menarik kembali ke masa musim dingin yang mencekam.

Don't Kill My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang