Rigel melepaskan seatbelt yang melindungi tubuhnya. Setelah itu, ia memiringkan tubuhnya menghadap wajah cantik Binar yang sedang terlelap. Dielusnya puncak kepala istrinya itu dengan sayang seraya menampilkan senyum yang membingkai indah wajah tampannya.
"Sayang ... bangunlah. Kita sudah sampai," ucap Rigel. Elusannya lantas berhenti, berganti dengan menatap lekat kedua manik istrinya yang masih terpejam dengan nyenyaknya.
Tubuh Binar menggeliat pelan, kedua netranya berkali-kali mengerjap, dan tak lama kemudian manik coklat mudanya membelalak sempurna saat ia merasa dirinya berada di sebuah tempat asing. Entahlah, ia tak tahu di mana, yang jelas ia merasa terjebak di antara ratusan pohon pinus dan pohon besar lainnya yang menjulang tinggi di sebuah hutan.
Binar secepat kilat memalingkan kepalanya ke arah Rigel. "Kita di mana?" tanyanya dengan degup yang berdetak ketakutan, sementara itu Rigel hanya menampilkan senyum tipis.
"Kau tidak ingat?" Alih-alih menjawab, Rigel justru balik bertanya.
Binar mengernyit dan sepersekian detik kemudian ia lantas mengedarkan pandangan menyapu sekitar hingga akhirnya ia terhenti saat kedua netranya jatuh pada rumah pohon yang berada sekitar dua puluh meter dari posisi mobilnya kini. Selama beberapa saat ia mencoba memutar kembali ingatannya, hingga akhirnya setelah beberapa menit berlalu rumah pohon itu tercetak jelas di memorinya.
"I---itu ...." Ucapan Binar menggantung di udara tanpa menoleh ke arah Rigel sedikit pun.
Rigel menggumam pelan. "Mau ke sana?" tawarnya yang dijawab cepat dengan anggukan Binar.
Begitu turun dari mobil, aroma segar yang menyeruak dari pohon pinus, udara dingin yang kian menusuk kulit, dan kerlip matahari yang nampak malu-malu mengintip dari celah dedaunan menyambut kedatangan Binar dan Rigel. Sungguh, baru sedetik saja tempat itu sudah mendatangkan sebuah kedamaian. Berbeda sekali dengan Jakarta yang kian menderai tetes peluh akibat terik mataharinya.
Tak ingin melewatkan barang sedetik pun, Binar melangkah seraya terus menikmati pemandangan sambil sesekali memejamkan kedua matanya. Segala ketakutan yang sempat menghinggapinya sirna begitu saja.
Jujur, awalnya Binar takut Rigel akan berbuat macam-macam---meninggalkannya di hutan antah berantah karena pria itu kesal dan memilih menyerah, misalnya. Namun ternyata pikiran negatifnya tak terbukti dan itu membuatnya mendesah lega. Nyatanya, suaminya membawanya kembali bernostalgia di tempat saat mereka kecil menghabiskan waktu semasa liburan.
"Astaghfirullah," Binar memekik tertahan saat tiba-tiba Rigel menggendongnya di punggung kekar pria itu, lalu mengambil alih kruk miliknya. Sontak, ia mengalungkan kedua tangan di leher pria itu.
Rigel menurunkan Binar tepat di sebuah ayunan yang terbuat dari kayu yang menggantung di pohon. Meraba tali ayunan dengan perlahan, lantas wanita itu duduk dengan ragu---takut jika tiba-tiba tali itu terputus.
Menyadari ragu yang tercetak di wajah cantik istrinya, Rigel pun berkata, "It's okay. Minggu lalu talinya baru saja diganti, karena yang lama telah koyak."
Meski berselimut ragu, Binar akhirnya menghempaskan bokongnya di atas kursi ayunan. Setelah itu, Rigel mendorongnya pelan dari belakang agar ayunan itu berayun. Sesekali mereka melemparkan gurauan seraya mengingat masa kecil mereka. Saat hubungan mereka masih hangat, tak sedingin dan sekaku sekarang.
Puas bermain ayunan, Rigel mengajak Binar menaiki undakan anak tangga yang mengarah ke rumah pohon berukuran 4 x 5 meter. Di sisi kiri rumah pohon itu terdapat sebuah balkon, sementara di sisi kanan terhubung dengan sebuah jembatan gantung yang berakhir dengan sebuah perosotan. Tak ada debu dan dedaudan di sana. Semua terlihat terawat dan bersih seperti sebuah rumah layak huni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Kill My Baby
RomanceBinar bersimpuh dengan kesepuluh jarinya yang saling bertaut di depan dada. "Bunuh aku," lirihnya bersama bulir-bulir kepahitan yang membasahi wajahnya. "Tidak sekarang, aku masih ingin bermain-main denganmu," bisik Rigel di telinga Binar dengan pos...