Part 8

24.2K 1.4K 92
                                    

Maafkan jika alurnya lambat, sengaja biar kalian bisa mempersiapkan hati n tisu untuk seperti yang di deskripsi cerita. Sekuat-kuatnya Thor, dia pasti hancur juga kalau ketiban meteor.

Don't Kill My Baby. Baby di sini bisa berarti bayi, bisa berarti sayang, bisa berarti juga bayi yang disayangi. Apakah baby itu Lea? Hmm ... jangan terlalu banyak berharap, karena kalau di-PHP-in itu sakit. Kita lihat saja nanti. 😉

Happy reading!

.
.
.

"Kakak mau apa?" tanya Binar kala Rigel memapahnya saat ia hendak ke kamar mandi.

"Membantumu. Memangnya apa lagi?" Rigel menjawab sekaligus bertanya.

"Aku mau mandi," ungkap Binar.

"Lalu?" Rigel bertanya dengan wajah datar, membuat Binar memutar bola mata dengan malas.

"Ya, Kakak pergi sana. Jangan ikut-ikut aku. Aku bisa sendiri. Sejak kemarin, aku bisa ke kamar mandi sendiri, 'kan? Aku tidak butuh bantuan Kakak," usir Binar jujur. Ia memang pergi ke kamar mandi sendiri untuk berwudhu dan buang air. Pada saat Rigel tidak ada di kamar atau saat Rigel masih terlelap, seperti Subuh tadi. Alih-alih pergi, Rigel malah menggendongnya ala bridal style, membuat ia memekik kaget.

"Aku takkan membiarkanmu pergi ke kamar mandi sendiri lagi. Kalau tiba-tiba kau terpeleset bagaimana?" tanya Rigel retoris. Sementara itu, geraman tertahan keluar dari bibir Binar.

"Apa Kakak tidak paham? Aku bilang, aku mau mandi. Itu berarti Kakak tidak usah membantuku!" Intonasi Binar meninggi. Jelas saja, memangnya ia mau mandi dibantu oleh Rigel? Tentu saja tidak.

"Jelas aku harus membantumu." Rigel menghela napas sejenak, membuka pintu kamar mandi dengan sikunya, menendang pintu agar terbuka lebar, kemudian masuk. Di pangkuannya, Binar meronta meminta turun. Namun, sama sekali tak diindahkan sedikit pun olehnya. "Diamlah, Binar. Kau seperti kucing yang takut dimandikan. Lagi pula aku ini suamimu, tidak ada salahnya seorang suami membantu istrinya mandi."

"Tapi kita bukan suami-istri sungguhan. Apa Kakak sudah pikun?" protes Binar.

Bukan suami-istri sungguhan, selalu itu saja yang Binar katakan, membuat Rigel muak dan entah mengapa ada sudut hatinya yang merasa tidak terima. Rigel mendudukkan tubuh Binar di atas meja kabinet wastafel yang atasnya terbuat dari keramik, lalu menutup pintu kamar mandi. Setelah itu, ia mengatur shower dengan takaran suhu yang pas. Saat ini, istrinya tidak mungkin mandi dalam bathtub. Di rasa sudah cukup, pandangannya berputar ke arah istrinya yang sedari tadi menunggu dengan kesal.

"Mau aku bantu bukakan baju atau kau sendiri?" Tak dikira, pertanyaan Rigel dibalas lemparan botol sabun oleh Binar.

"Keluar!!!" Napas Binar terlihat terengah setelahnya. Wanita itu kemudian meraih botol sampo dan hendak dilemparkan ke arah suaminya. Secepat kilat, Rigel menahan pergelangannya. Dengan tatapan nyalang, wanita itu berkata, "K-e-l-u-a-r. Keluar. Apa Kakak mengerti?"

Rigel melepaskan cekalannya. "Ayolah, Binar. Memangnya kenapa kalau aku membantumu? Sebelumnya aku sudah sering melihatmu tanpa sehelai busana apa pun, 'kan?" Jelas, ucapan Rigel membuat pipi Binar memerah. Bukan karena ia merona, tapi menahan amarah yang membuncah, memikirkan bagaimana bisa suaminya berkata dengan sesantai itu.

"Itu saat aku balita," ralat Binar geram. Perlu berapa kali ia ingatkan? Namun, Rigel malah merespon dengan mencubit gemas hidungnya seraya terkekeh.

Don't Kill My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang