Part 17

17.6K 1.2K 77
                                    

Rigel berdiri seraya memandangi langit biru yang mulai bercampur jingga dan gedung-gedung pencakar langit dari dinding-dinding kaca ruang kerjanya. Menatap ke bawah, ia bisa melihat bagaimana kendaraan roda dua dan roda empat memadati jalanan ibu kota---merayap bagai pasukan semut. Sesekali pria itu menyesap secangkir teh hangat yang dipegangnya. Kebiasaan ini biasa dilakukan kala ia mulai lelah dengan setumpuk berkas yang harus ia tangani. Namun mau bagaimana lagi? Itu sudah menjadi risikonya sebagai petinggi di perusahaan. Ribuan karyawan bergantung nasib padanya, bukan hanya itu, statusnya sebagai satu-satunya pewaris perusahaan ayahnya dan seorang kepala keluarga menuntutnya untuk bekerja keras.

Di tengah kesibukannya menikmati pemandangan Kota Jakarta, tiba-tiba ia dikejutkan dengan bunyi nyaring yang berasal dari saku celananya. Mengalihkan gelas ke tangan kiri, tangan kanannya sibuk merogoh saku celana---menemukan benda pipih yang masih mengeluarkan bunyi nyaring. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya ia berhasil menatap siapa yang memanggilnya.

My Love

Itulah nama yang terpampang di layar ponselnya. Cintanya. Siapa lagi kalau bukan Binar, istrinya. Sengaja ia menamai wanita itu sebagai cintanya agar perasaan cinta yang dulunya hanya satu persen semakin tumbuh pesat, membuat keyakinannya semakin besar bahwa sosok yang tidak terasa telah menemaninya dalam mengarungi bahtera rumah tangga selama enam bulan ini bukanlah sebagai pelarian.

Ya, waktu tak terasa bergulir begitu cepat. Setengah tahun sudah Binar dan Rigel lewati. Setelah kejadian di mana Rigel mengajak istrinya membangun cinta, kehidupannya tak langsung membaik. Semua butuh proses untuk merobohkan benteng es dan membangun pilar kepercayaan Binar.

Setiap detik menjadi sangat berharga bagi Rigel. Pria itu membuktikan ucapannya. Tak ada kata lelah dan menyerah dalam meraih hati istrinya. Setiap harinya ia lebih mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang pada wanita yang kini bertahta di hatinya. Tak jarang, kata-kata cinta yang begitu manis ia berikan untuk menyambut, menjalani, dan menutup hari istrinya. Ia pun lebih bersikap manja agar semakin menarik perhatian istrinya yang beku, hingga pada akhirnya, benteng es itu perlahan mencair oleh kehangatan yang ia berikan.

Keadaan rumah tangga Rigel dan Binar terasa semakin membaik. Kini kehidupan yang mereka jalani terlihat seperti pasangan suami-istri yang sesungguhnya. Sekilas mereka terlihat sebagai pasangan romantis. Namun jangan salah, meski Rigel telah memperlihatkan kesungguhannya, sampai detik ini Binar belum mau menyerahkan hak suaminya.

Tak mudah memang melupakan masa lalu yang begitu menyakitkan. Sikap manis Rigel saat ini bukanlah sebuah jaminan masa depan. Segalanya bisa berubah, sama seperti dulu. Saat Rigel yang perlahan berpaling kepada wanita lain dan mulai melupakan Binar, menyingkirkannya dari posisi prioritas kedua setelah orangtua pria itu, menjadi prioritas entah keberapa.

Membangun cinta. Ah ... tanpa Rigel suruh, Binar sudah lebih dulu mengerahkan segala perasaannya untuk membangun cinta. Namun, semua itu sia-sia, karena pria itu sendiri yang merobohkannya. Jadi, tak salah bukan untuk saat ini Binar membiarkan pria itu yang membangun cinta? Karena sekarang, ia terlampau lelah dan tak ingin menelan kecewa kembali.

"Assalamu'alaikum," sapa Rigel saat mengangkat panggilan istrinya.

"Wa'alaikumussalam," sahut Binar di seberang. "Kak, apa Kakak tidak salah? I---ini ...."

"Apa kau tidak suka?" Rigel menyela ucapan istrinya.

"Tentu saja aku sangat suka. Ini sangat indah. Tapi, ini terlalu berlebihan. Aku tidak pantas mendapat gaun seindah dan semahal ini. Lagi pula untuk apa gaun sebagus ini? Apakah ada acara?" tanya Binar di akhir seraya memandang pantulan dirinya di cermin sambil memain-mainkan gaun yang baru saja dikirim suruhan Rigel.

Don't Kill My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang