Derit pintu terdengar, diikuti derap langkah Rigel di tengah kegelapan yang menyelimuti kamarnya dan istrinya. Pelan-pelan ia melangkah mendekati saklar yang menempel di dinding dekat nakas, kemudian menekannya hingga lampu tidur yang temaram menyala. Manik matanya beredar ke arah jam dinding, ternyata waktu menunjukkan sudah pukul setengah satu malam.
Pandangan Rigel beralih pada istrinya yang sudah menjelajah ke alam mimpi dalam posisi miring menghadap nakas. Dia duduk di lantai dekat sisi ranjang, sebelah tangan kanannya terulur mengusap lembut surai hitam istrinya, lalu turun dan berhenti di wajah istrinya. Hatinya bergetar saat melihat mata sembab dan jejak basah di pipi istrinya, mungkin wanita itu tertidur setelah lelah menangis. Refleks jari telunjuknya menyeka jejak basah yang mulai mengering, kemudian mengecup kedua mata istrinya. Dirasakannya Binar sedikit menggeliat tidak nyaman dengan mata yang masih terpejam. Syukurlah, wanita itu tidak terbangun akibat kecupan yang diberikannya.
Masih dalam posisi duduk, Rigel menghela napas berat, kemudian tangannya beralih menggenggam tangan istrinya dengan hati-hati, takut mengusik istrinya yang bergelung dalam mimpi. Tak lama kemudian, ia menundukkan kepalanya hingga dahinya menyentuh kasur seraya menyembunyikan genangan air mata yang tiba-tiba lolos dari pelupuk matanya. Entahlah, mengapa ia bisa selemah ini yang jelas pikirannya berkecambuk karena memikirkan untaian kata perlambang kerapuhan Binar yang diakibatkan karena mencintainya.
Dapat Rigel lihat kala itu Binar memperlihatkan sorot penuh luka di matanya. Ia benar-benar tidak menyangka istrinya mampu menyembunyikan luka itu selama bertahun-tahun lamanya. Sungguh, istrinya itu adalah wanita yang tangguh dan mampu mengendalikan perasaan. Namun wanita tetaplah wanita, seorang manusia biasa yang mempunyai titik lemah di mana terselip ingin menyerah. Kini, wanita itu telah mengibarkan bendera putih kepadanya, tepat di saat ia sendiri mulai membuka hati untuk wanita itu. Rasanya tidak adil dan ia takkan mengindahkan kibaran bendera itu. Apa pun caranya, ia akan berusaha merobohkan dinding es istrinya dengan mentari sikapnya. Ia yakin, kehangatan yang ia beri perlahan akan mencairkan kebekuan istrinya.
Kepala Rigel terangkat, ia pun bangkit berdiri, berjalan ke sisi ranjang sebelah kiri, lalu membaringkan tubuhnya di sebelah Binar. Ia tidak peduli ucapan istrinya yang memintanya membiarkan wanita itu tidur sendiri.
Cukup lama ia memandang punggung Binar. Arghh ... rasanya ia gatal sekali ingin merengkuh tubuh semampai istrinya. Apalagi bayangan bagaimana wanita itu mengecup bibirnya secara tiba-tiba membuat tubuhnya menginginkan sesuatu yang lebih. Namun siapa sangka, di saat ia berpikir sedikit lagi istrinya akan menyerah dalam gairah dan berakhir dengan menyerahkan haknya, wanita itu malah mendorong dan mengusirnya. Mau tak mau dengan susah payah ia harus memadamkan gairahnya sebagai pria normal yang sudah berkobar. Sungguh istri yang kejam, pikirnya. Tapi, ia bisa apa selain pergi dan mengalihkan pada berkas-berkas yang dengan malas dipelajarinya.
Tak tahan, Rigel akhirnya menarik tubuh Binar ke dalam dekapannya. Dapat ia dengar istrinya melenguh pelan. Namun ia mendesah lega, bahkan seulas senyum terbit saat istrinya memeluk tubuhnya. Mungkin ia dianggap guling oleh istrinya, tapi tak mengapa, yang jelas kini ia merasakan kehangatan dalam hatinya. Seandainya saja ia bisa sedekat ini dalam keadaan istrinya sadar, tapi ... apakah mungkin? Ah, tidak ada yang tidak mungkin, 'kan?
Senyuman Rigel perlahan memudar saat pikirannya melayang pada ucapan Binar yang kukuh mengatakan dirinya hanya menjadikan wanita itu sebagai pelarian. Benarkah ia sekejam itu? Ia mengerang. Meski sebenarnya ia belum sepenuhnya yakin akan perasaan cintanya pada istrinya, tapi ia yakin jika kesungguhannya dalam memperbaiki rumah tangganya akan membuat cinta itu semakin tumbuh.
"Terima kasih, karena telah mencintaiku. Akan aku pastikan kalau kau bukan sebatas pelarian," ucap Rigel mantap seraya mengecup puncak kepala istrinya. Setelah itu ia memejamkan kedua matanya, berniat menyusul istrinya ke alam mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Kill My Baby
RomanceBinar bersimpuh dengan kesepuluh jarinya yang saling bertaut di depan dada. "Bunuh aku," lirihnya bersama bulir-bulir kepahitan yang membasahi wajahnya. "Tidak sekarang, aku masih ingin bermain-main denganmu," bisik Rigel di telinga Binar dengan pos...