Part 33

15K 1.1K 298
                                    

Derai kekhawatiran itu kentara di wajah wanita paruh baya yang sedang mengikuti brankar yang membawa majikannya. Segala doa ia rapalkan dalam hati. Batinnya tidak sanggup melihat wajah yang biasanya berseri kini pucat pasi dengan mata terpejam erat dan darah terus-terusan mengalir dari bagian selatan tubuh majikan yang sudah ia anggap sebagai putrinya sendiri.

"Ya Allah, Nona Binar ... hiks ... kenapa ini bisa terjadi?" lirih Bi Jum, wanita paruh baya itu saat pegangan tangannya pada brankar terlepas, karena perawat membawanya ke sebuah ruangan. Sungguh ia tidak rela meninggalkan Binar sendiri di dalam sana, tetapi perawat itu menahannya dan pria di sampingnya agar tidak ikut masuk. Pria itu, siapa lagi kalau bukan Rigel?

"Argh ...," erang Rigel sambil meninju tembok tak bersalah.

Bi Jum terperanjat. "Yang sabar, Tuan. Sebaiknya kita berdoa agar Allah menyelamatkan Nona Binar dan anak kalian." Sebelah tangannya terulur, tetapi segera ditepis Rigel. Hal itu tak membuat wanita paruh baya itu marah, keadaan membuatnya memahami pria itu.

Sementara itu, Rigel menyugar kepala dan mengusap wajah, risau. Pria itu bahkan tidak turut duduk di kursi tunggu bersama Bi Jum, malah memilih menyandarkan punggung ke tembok seraya mata tertutup dengan deru napas tak beraturan.

"Keluarga pasien?" Tak lama, dokter  keluar dari ruangan di mana Binar sedang ditangani.

Rigel bergegas menghampiri dokter. "Sa---saya, Dok. Di---dia ... a---anak saya baik-baik saja, 'kan?"

Helaan napas berat keluar dari hidung dokter wanita itu. "Istri Anda mengalami pendarahan hebat dan kami harus segera melakukan seksio sesarea sekarang juga. Tapi ... dengan riwayat kehamilan dan kondisi istri Anda saat ini, kami tidak bisa menjamin pasien dan janinnya selamat. Dengan kata lain, mohon maaf, Anda harus memilih salah satu di antara keduanya untuk kami prioritaskan keselamatannya." Gurat tak tega tampak jelas, tetapi itulah kenyataan pahit yang sebenarnya.

"Anaknya. Tolong selamatkan anaknya, Dok. Saya mohon." Tanpa pikir panjang, Rigel berucap begitu cepat seolah tak ada keraguan.

Bi Jum tersentak seraya menatap sang tuan. "Tuan, tapi ... Nona Binar?" tanyanya tak habis pikir.

"Jika Binar sadar, dia juga akan memilih anaknya, 'kan?" jawab Rigel. Mulut Bi Jum terbuka hendak menyela, tetapi terhenti saat antensi pria itu kembali pada dokter, lalu berkata, "Saya mohon, tolong selamatkan anaknya."

Tak ada yang bisa dokter lakukan selain mengangguk. Ia tidak memiliki wewenang. Itu adalah pilihan Rigel. Tak ingin banyak memakan waktu, dokter itu segera meminta Rigel menandatangi persetujuan operasi. Setelah itu, para dokter pun bersiap, lampu tanda operasi dinyalakan, dan prosedur segera dijalankan.

Rasanya, waktu bergulir begitu lambat. Sesekali Rigel berjalan ke sana kemari, lalu sesekali duduk, dan kembali mondar-mandir. Ia benar-benar tidak sabar menanti operasi selesai. Badannya melemas, terutama saat melihat perawat memasuki ruang operasi dengan membawa beberapa labu darah. Sementara itu, jemari Bi Jum terus meremas rok yang ia kenakan dan tubuh ringkihnya terus bergetar, memikirkan segala kemungkinan terburuk.

"Tuan ... mengapa Anda tidak memilih Nona Binar?" Bi Jum menoleh ke sebelah kanan, di mana Rigel duduk di sampingnya. Sungguh sedari tadi ia ingin mempertanyakan hal itu.

Rigel menoleh ke arah Bi Jum. Wajah tampannya memperlihatkan gurat luka begitu dalam. "Aku mencintai, Bi. Sangat-sangat mencintainya. Namun, aku tahu Binar jauh lebih mencintai calon anak kami. Janin itu adalah belahan jiwanya. Sekuat tenaga Binar bersikukuh mempertahankan janin itu agar bisa melihat dunia saat dokter menyarankan untuk digugurkan. Haruskah aku mematahkan hatinya?" Ia menghela napas berat dan setetes cairan bening pun jatuh mengenai pipi. "Pilihan ini begitu berat, Bi, tapi aku bisa apa? Aku tidak ingin Binar terpukul dan menyalahkan dirinya jika aku memilihnya."

Don't Kill My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang