Raut lelah kentara di wajah Rigel setelah melakukan penerbangan Milan--Jakarta dengan Qatar Airways yang memakan waktu hampir 18 jam, belum lagi setelah itu ia harus kesal duduk di tengah kemacetan ibu kota Jakarta selama 1,5 jam.
"Biar saya bawakan tasnya, Tuan," tawar Mbok Jum. Rigel mengangguk dan menyerahkan ranselnya.
"Di mana Binar?" tanya Rigel saat matanya tak menangkap sosok yang sama sekali tidak pernah menghubunginya. Hell, seorang istri seharusnya selalu menanyakan kabar suaminya, 'kan? Tapi seharusnya Rigel ingat, kalau statusnya bukan suami sungguhan dan ia pun tak pernah menghubungi Binar. Jadi wajar jika istrinya tak menghubungi dirinya.
"Nona Binar sedang tidur di ruang tengah, Tuan," jawab Mbok Jum.
Benar saja, sekarang Rigel bisa menangkap wajah damai istrinya yang sedang terbang ke alam mimpi. Atensinya beralih pada buku yang dipeluk Binar. Secuil cemburu menyeruak dalam hatinya pada buku yang selama tiga minggu ini setia menemani istrinya. Di saat ia mengusap lembut puncak kepala dan berinsiatif menggendong tubuh istrinya untuk dipindahkan ke kamar agar tidurnya semakin nyaman, lenguhan kecil keluar dari bibir istrinya beriringan dengan mata yang perlahan terbuka. Akhirnya, ia menurunkan tubuh ramping istrinya kembali di atas sofa.
"Kakak sudah pulang?" tanya Binar dengan sedikit serak, kemudian mengubah posisi menjadi duduk bersandar.
Rigel menjawab dengan sebuah anggukan dan senyuman. Entah mengapa ia bahagia saat Binar mau berbicara dengannya. Mungkin wanita itu masih berada dalam mode tidak sadar, karena jika tidak, wanita itu tidak mungkin mau memulai berbicara dengannya.
"Masih ngantuk?" Binar menggeleng sebagai jawaban. Mata Rigel beralih pada buku novel yang tadi ia simpan di atas meja. "Sepertinya koleksi buku-bukumu sudah dibaca semua. Bagaimana jika sekarang kita beli buku-buku baru sekaligus makan malam?" Binar kembali menggeleng.
"Kakak baru saja pulang, aku tidak ingin Kakak lelah." Demi apa pun di dunia ini hati Rigel membuncah, bahkan ia ingin meneteskan air mata saat mendengar nada halus yang dilontarkan Binar saat berbicara dengannya.
"Aku tidak lelah. Ayo, lebih baik kita bersiap," ajak Rigel yang kini dibalas anggukan dari Binar.
***
Setelah puas berkeliling toko buku dan membeli dua belas buku bacaan, yang terdiri dari 6 novel, 2 buku spiritual, 2 buku pengetahuan, dan 2 buku motivasi. Rigel mengajak Binar makan ke salah satu restoran.
"Tuan Rigel?" tanya seorang pria paruh baya yang mendatangi meja Rigel dan Binar.
"Mr. Smith," balas Rigel. Ternyata ia bertemu dengan salah satu rekan kerjanya.
Mr. Orlando Smith tersenyum. "Kebetulan kita bertemu di sini. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan mengenai proyek kita. Saat dua hari yang lalu saya ke kantor Anda, sekretaris Anda bilang Anda sedang ada urusan. Emm ... bisa kita berbicara sebentar? Besok saya harus terbang ke Thailand."
"Tentu. Silakan duduk." Rigel tersenyum ramah dan mempersilakan.
"Saya rasa sebaiknya kita berbicara berdua. Tidak enak dengan Nyonya Kalandra. Pasti ia akan bosan mendengar obrolan kita," ujar Mr. Orlando. Sekilas matanya menatap Binar dengan sungkan.
Rigel menatap wajah Binar, meminta izin. "Tak perlu menungguku. Makanlah duluan, jika makanannya sudah datang," ucapnya seraya mengusap punggung tangan Binar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Kill My Baby
RomanceBinar bersimpuh dengan kesepuluh jarinya yang saling bertaut di depan dada. "Bunuh aku," lirihnya bersama bulir-bulir kepahitan yang membasahi wajahnya. "Tidak sekarang, aku masih ingin bermain-main denganmu," bisik Rigel di telinga Binar dengan pos...