Part 15

19.6K 1.3K 136
                                    

"Kalau memang Kakak mencintaiku, kenapa tidak dari dulu? Kenapa harus menunggu Kak Naresha pergi? Apa itu namanya kalau bukan pelarian?!"

Kalimat-kalimat itu terus terngiang di pikiran Rigel, membuatnya tidak sadar sudah berapa lama ia membeku, bahkan ia tak sadar kalau Binar sudah tak ada lagi di hadapannya. Otaknya terus mencoba menjawab segala pertanyaan yang begitu menohoknya. Binar benar, jika ia memang mencintai wanita itu, kenapa tidak dari dulu? Kenapa harus menunggu Naresha pergi? Seketika ia ragu atas perasaannya sendiri. Benarkah ia telah jatuh cinta kepada istrinya? Bagaimana bisa secepat itu? Bukankah hatinya adalah milik Naresha? Ia bahkan baru beberapa hari putus dari wanita pujaannya.

Rigel menghela napas panjang. Bukannya mendapat jawaban, ia malah menambah rentetan pertanyaan yang membuat pikirannya semakin kalut. Ia mencoba bertanya kembali pada hatinya. Sejak kapan hatinya berlabuh kepada Binar? Apa yang menjadi dasar ia jatuh cinta kepada istrinya?

Dengan wajah campurannya, Binar jelas memukau. Siapa pun pria pasti jatuh hati kepada paras wanita itu, kendati tanpa polesan make-up. Sebagai lelaki normal, Rigel tak menampik kalau ia menyukai setiap pahatan yang Tuhan buat pada istrinya. Kulit putih halus yang tak sengaja ia sentuh saat menurunkan retsleting Binar di kala malam pengantinnya, secara tak diduga membuat matanya meremang, napasnya memburu, dan gelenyar asing seakan menyalakan gairah kelelakiannya.

Binar bagaikan aliran listrik yang harus ia hindari. Sedikit saja ia tersengat, maka getaran asing tak dapat terelakaan. Sialnya, bukannya kapok, ia justru semakin tertarik dan menginginkan sengatan yang jauh lebih lama, lebih dalam, dan ia tak peduli jika ia harus mati karena terus terkena sengatan listrik itu. Sengatan itu bagai morfin yang membuatnya candu. Karena itulah ia memilih membentengi diri dengan menebarkan aura dingin, menjauhi wanita itu. Ia tidak ingin mengkhianati Naresha, apalagi dengan cara menyentuh Binar. Namun, semua itu runtuh saat ia mengecup bibir istrinya untuk yang pertama kali. Pertahanan yang dibangunnya selama satu bulan setengah perlahan mulai roboh. Kalau saja kewarasaannya tidak memikirkan kekasihnya, ia yakin benteng itu akan hancur menjadi puing-puing.

Rigel termenung, apakah fisik yang menjadi dasar ia jatuh cinta kepada Binar? Seketika ia menggeleng. Keindahan fisik Binar memang menarik hatinya, tapi ia bukan tipe pria yang menyukai wanita dari fisiknya. Buktinya Naresha. Wanita itu kalah cantik dari Binar, tapi wanita itu berhasil membuat hatinya berbunga, tersenyum sendiri bagai orang gila, dan pikirannya selalu dipenuhi dengan senyum manis wanita itu. Ia ingin selalu berada di sisi wanita itu, membahagiakan, melindungi, dan merajut masa depan bersama. Kalau begitu, apa yang mendasari ia yakin kalau ia jatuh cinta kepada Binar?

Pikiran Rigel tertarik saat Binar terbaring koma setelah kecelakaan. Ucapan Nira, para netizen, dan keluhan Binar sukses menyusupkan rasa bersalah atas apa yang menimpa istrinya, apalagi kenyataan kalau sebelah kaki istrinya tak bisa berfungsi untuk sementara. Seketika ia merasa menjadi seorang penjahat di sini---menyakiti istri dengan cara berbohong, mengabaikan, dan yang fatal adalah berselingkuh. Sadar akan kesalahannya, ia mencoba memperbaiki dengan tak lagi mengabaikan, beralih memberi perhatian, bahkan ia menyetujui mengakhiri hubungan asmaranya dengan sang terkasih.

Selama berminggu-minggu Rigel berperan menjadi sosok suami yang baik. Hal itu membuat ia seakan hanyut dalam hubungan rumah tangganya, meski sebaliknya kini Binar-lah yang membuat benteng es yang tak bisa ia lewati.

Sekarang, masih bisakah rasa yang hadir itu dikatakan murni dari hatinya? Atau ternyata hanya sebatas rasa bersalah? Atau ... bagaimana tenyata rasa itu disebabkan karena ketidakinginan ditinggalkan kembali?

Don't Kill My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang